Friday, June 29, 2007

`DCA Bisa Jadi Pesanan AS`

REPUBLIKA - Jumat, 29 Juni 2007 8:38:00

JAKARTA --- Perjanjian Kerja Sama Pertahanan (DCA) RI-Singapura bisa merupakan pesanan Amerika Serikat (AS) yang sudah lama ingin mendirikan pangkalan militernya di Indonesia. Inilah hasil analisa mantan atase militer Indonesia di AS periode 1983-1997 dan 1991-1995, Mayjen TNI (Purn) Benny Mandalika.
Pernyataan Benny itu merupakan salah satu masukan Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD) kepada Komisi I DPR, di Senayan, Jakarta, Kamis (28/6). ''Dengan adanya pasal-pasal di DCA yang menyatakan bahwa Singapura itu akan melibatkan pihak ketiga dalam latihan militernya di Indonesia, dan juga disinyalir yang diajaknya adalah AS, dapat diduga bahwa DCA ini merupakan titipan AS,'' katanya.
Selama dia menjabat atase militer di AS, dia mengaku beberapa kali pejabat militer negara adi daya itu menghubunginya. ''Saya didekati mereka untuk dapat menggunakan salah satu pulau di Kepulauan Riau sebagai pangkalan militer AS,'' ungkap Benny. Namun permintaan tersebut ditolaknya dengan diplomatis. Saat itu Benny mengatakan, negara Indonesia menganut politik internasional yang bebas-aktif. Jadi, tak bisa mengizinkan salah satu wilayahnya untuk dijadikan pangkalan militer AS.
Batu loncatanLantas AS mengalihkan perhatiannya ke Singapura. AS pun mendirikan salah satu depo logistik militernya di negara pulau salah satu tetangga terdekat Indonesia itu. ''Menurut saya, mereka berusaha mencari stepping stone (batu loncatan) di Singapura untuk masuk ke Indonesia. Itu bisa jadi sebagai langkah AS untuk masuk ke negara ini,'' kata Benny.
Ketua Umum PPAD, Letjen TNI (Purn) Soerjadi, mengemukakan, sejak lama antara RI dan Singapura memang menjalin bekerja sama pertahanan dalam bentuk kegiatan latihan bersama, pendidikan, pertukaran perwira, dan program kunjungan militer. Namun, menurut mantan wakil Kepala Staf TNI AD (Wakasad) itu, PPAD menilai DCA sudah menyimpang dari kerja sama pertahanan yang dilakukan RI-Singapura sebelumnya.
''DCA itu memungkinkan tentara asing mengakses di wilayah Indonesia untuk latihan mandiri dan bersama negara lain. Itu berbeda sifatnya dengan kerja sama pertahanan yang sudah ada. Itu (DCA) keinginan Singapura yang sudah ada sejak 1996, tapi tak pernah kita sepakati sampai dengan ditandemkannya perjanjian itu di Bali (april 2007, red),'' kata Soerjadi.
Pendapat serupa disampaikan Letjen TNI (Purn) Yogi Supriyadi. Dia tegas mengatakan,''No compromise to DCA. Ini adalah masalah integritas nasional dan wujud prinsip moral dan beretika negara. Kalau diratifikasi DCA itu oleh DPR, tindakan tersebut merupakan pengkhianatan terhadap negara,'' tegasnya.
PPAD mencatat, ada hal elementer yang kontradiktif pada DCA. Contohnya, kerja sama pertahanan ini adalah antara RI dan Singapura, yang artinya bersifat bilateral. Namun, dengan adanya pasal 3C DCA yang menyatakan Singapura bisa berlatih dan melaksanakan latihan dengan pihak negara lain di Indonesia, maka itu berarti sifatnya bukan lagi bilateral, melainkan multilateral.
Karena itu, PPAD meminta kepada semua pihak dan DPR untuk tidak terpengaruh dan tidak memberikan keuntungan politik, ekonomi, pertahanan NKRI kepada bangsa asing. Mereka juga mendesak agar DPR menolak dan tidak meratifikasi perjanjian tersebut.
Wilayah strategisSidharto Danusubroto dari Fraksi PDIP menegaskan, sebagian besar fraksi di Komisi I menolak ratifikasi DCA. ''Kita bukan hanya menolak teknisnya, juga substansinya,'' katanya. Anggota Komisi I dari Fraksi PAN, Abdillah Toha, mengatakan, wilayah latihan pada Alfa I, Alfa II, dan Bravo dalam skema DCA yang mencakup Selat Malaka dan perairan Natuna, sangat strategis. Miliaran dolar nilai perdagangan melewati wilayah itu. Dia khawatir, bila Singapura mengajak AS latihan dalam DCA menjadi sinyal penguasaan geopolitik wilayah itu.
''Itu juga akan mengganggu politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. Sementara Singapura selalu berorientasi ke Barat,'' kata Abdillah. Ia juga mengakui DPR memang emosional dalam DCA, namun itu semua demi mempertahankan kedaulatan negara. Jangan sampai perjanjian pertahanan dikaitkan dengan perjanjian ekstradisi.
Ketua Komisi I, Theo L Sambuaga Fraksi Partai Golkar), meminta agar hasil analisa dan pendapat PPAD itu digalang bersama dengan persatuan purnawirawan (PP) di angkatan-angkatan TNI lainnya, seperti PP Angkatan Laut, PP Angkatan Udara. ''Kami berharap agar pendapat PPAD ini juga disampaikan ke pemerintah sebagai bahan untuk mereka,'' tandasnya. n wed/rto/oed

0 comments: