Friday, May 18, 2007

Konversi Elpiji 'Hantui' Gakin

Jumat, 18 Mei 2007

Ratusan ribu keluarga miskin (gakin) di Malang Raya; Kota Batu, Malang, dan Kab Malang, kini galau dan resah. Mereka dihantui kebijakan konversi minyak tanah ke pemakaian elpiji. Begitu juga dengan warga yang membuka usaha pembuatan kompor.
Kegalauan itu karena secara moral dan material mereka merasa masih belum siap. Sementara, Pertamina bersama Himpunan Wirausaha Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) yang kini terus berkoordinasi dengan Pemkot Malang menargetkan konversi sudah harus dilaksanakan Juni 2007.

Jumlah gakin di tiga wilayah ini sangat besar. Untuk di Kota Batu saja ada sekitar 5.191 KK, dari total jumlah penduduk sebanyak 160.000 orang. Sedangkan di Kab Malang ada sebanyak 164.467 gakin dari total penduduk sekitar 2,5 juta. Sementara di Kota Malang jumlah gakin mencapai 22,5 persen atau sekitar 24.429 KK (177.814 jiwa) dari total warga sekitar 789.348 jiwa.
Mereka tersebar di pedesaan, kawasan-kawasan pinggiran kota, dan sebagian di dalam perkotaan. Misalnya, di kawasan Buring, Baran, Kedungkandang, Kotalama, sepanjang DAS Brantas, dan pinggiran Sukun. ''Perubahan bahan bakar minyak dari minyak tanah ke elpiji itu bisa menyulitkan kami. Sebab, selama ini kami sudah terbiasa memakai minyak tanah,'' ujar Ani, seorang ibu rumah tangga di kawasan Mergosono, Kota Malang.
Hal senada juga diungkapkan Tutik, warga Pakisaji, Kab Malang. Menurut ibu dua anak ini, ia sampai saat ini belum tahu dan belum paham cara memasak pakai elpiji. Wanita yang sehari-harinya bekerja sebagai buruh tani ini malah mengaku baru tahu nama elpiji akhir-akhir ini. Saat banyak orang membicarakannya.
Lain lagi Ratna, warga Kota Batu. Dia mengaku sedikit memahami konsekuensi pemakaian elpiji. Menurut dia, jika memakai elpiji akan banyak biaya yang harus ditanggung. Salah satunya adalah membeli tabung elpiji yang harganya mencapai ratusan ribu. Belum lagi, kalau nanti saat melakukan isi ulang. ''Uang yang dibutuhkan bisa mencapai Rp 75 ribu per tabung. Itu pun tidak bisa beli sedikit demi sedikit. Berbeda dengan minyak tanah. Saya bisa beli sesuai kemampuan. Mampu beli Rp 1.000, masih bisa,'' terangnya.
Nah, bila memanfaatkan elpiji, papar dia, tidak mungkin membeli sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan kantong. Harus beli satu tabung seharga Rp 75 ribu. Para pengusaha kompor berbahan bakar minyak tanah di Kota Malang tak kalah resahnya. Mereka yang sebagian besar bermukim di Kel Merjosari, Kec Lowokwaru, Kota Malang, ini merasa terancam usahanya, dengan adanya konversi minyak tanah ke elpiji.
Hadi, salah seorang perajin kompor dari Dinoyo, mengatakan, `'Selama ini kami sudah sangat sulit untuk bisa bertahan hidup. Kalau ada perubahan pemakaian minyak tanah ke elpiji, ini jelas akan mematikan usaha kami. Karena itu, kami berharap kebijakan ini tidak dilaksanakan secara serentak dan mendadak. Usaha kami bisa mati.''
Depo Pertamina Malang dan Hiswana Migas terus mendesak Pemkot Malang segera melaksanakan konversi minyak tanah ke elpiji itu. Bahkan, mereka seolah tidak mau mendengar keluhan kaum ibu gakin dan pengusaha kompor serta agen-agen kecil minyak tanah.
Pertamina Depo Malang yang sebenarnya merencanakan konversi itu pada Agustus 2007, justru berharap ke Pemkot memajukan pelaksanaannya pada Juni depan. Sasaran konsumen yang jadi bidikan awal adalah sebanyak 90 ribu KK. Hal tersebut juga diakui General Manager Pertamina UPMS V Surabaya, Djoko Prasetyo. Menurut dia, sasaran prioritas wilayah adalah Malang.
Untuk menyukseskan konversi tersebut, DPC Hiswana Migas Malang, Teuku Rizal Pahlevi, bersedia mendukung dengan tiga syarat. Misalnya, Pertamina membebaskan penggunaan armada pengangkut, memberi kemudahan memperoleh tabung sistem kredit, dan menghapuskan minyak tanah secara bertahap. ''Kalau pasar sudah stabil, minyak tanah baru bisa ditarik dari pasaran,'' jelasnya.
Kendati demikian, Pemkot Malang tampaknya masih ragu. Asisten II Sekkota Malang, Sutiarsi, mengaku masih akan mengkaji konversi minyak tanah ke elpiji itu. Alasannya, sasaran 90 ribu KK itu bukan jumlah yang sedikit. Menurut dia, konversi sebagai langkah menghemat subsidi APBN itu harus direncanakan secara matang. `'Semuanya harus siap. Tidak terburu-buru. Kalau terjadi gejolak, siapa yang tanggung jawab?'' katanya.
Apalagi, tandas dia, sampai saat ini masih belum menerima instruksi gubernur soal percepatan uji coba konversi tersebut. Hal itu juga diakui Disperindag Kota Batu, Syafiudin. Menurut dia, kini Pemkot Batu sedang menunggu surat edaran dari pusat. ''Makanya, sampai sekarang kami masih belum berani melakuan sosialisasi pada masyarakat mengenai konversi minyak tanah ke elpiji itu,'' ungkapnya.
Syafiudin melihat perubahan pemanfaatan minyak tanah ke elpiji itu berarti perubahan sikap dan perilaku bagi masyarakat. Ia lantas menunjuk pada mayoritas masyarakat Kota Batu yang menggunakan minyak tanah. Kebutuhan minyak tanah per hari sekitar 70 ribu liter melalui dua distributor dan 11 pangkalan minyak tanah. Sedangkan kebutuhan elpiji setiap minggunya hanya sekitar 651 tabung. aji

0 comments: