Kompas - Jumat, 18 Mei 2007
Madina Nusrat
Rencananya, Mawar (17)—sebut saja demikian— akan pulang ke rumah orangtuanya di Kendal, Jawa Tengah, Rabu (16/5). Namun, karena tempat mondoknya dikepung polisi, ia bersama tiga teman seusianya harus diamankan di Kantor Kepolisian Wilayah Banyumas.
Empat remaja perempuan usia 17 hingga 18 tahun diamankan Polwil Banyumas dari lokalisasi prostitusi Gang Sadar yang berada di sekitar obyek wisata Lokawisata Baturraden, Banyumas. Anak-anak remaja itu telah dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial oleh empat mucikari.
Kepala Subbagian Reserse dan Kriminal Polwil Banyumas Komisaris Irwanto mengatakan, keempat remaja itu diketahui dipekerjakan sebagai PSK di sebuah pondokan setelah jajarannya melakukan pengamatan di sekitar Gang Sadar pada Selasa lalu.
"Pengamatan kami lakukan Selasa pagi. Menjelang magrib, kami mendapati empat remaja perempuan di bawah umur dipekerjakan di satu pondokan prostitusi," paparnya.
Dari hasil temuan itu, Irwanto mengatakan, ia langsung mengamankan keempat remaja tersebut. Begitu juga terhadap empat mucikari yang mempekerjakan mereka, TS (40), SR (34), RW (37), dan W (32).
Mawar tak pernah menyangka sebelumnya kalau rencana akhir pekannya untuk pulang ke rumah berakhir dengan berurusan dengan kepolisian. Perutnya seketika terasa bergejolak, sampai ia meminta obat pereda nyeri lambung kepada seorang petugas. Makan siang yang disajikan aparat kepolisian Bagian Bina Mitra pun tak disentuhnya.
Mawar bersama tiga temannya adalah beberapa remaja belasan tahun yang dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial di kawasan Gang Sadar, satu kawasan lokalisasi di sekitar obyek wisata Lokawisata Baturraden.
Gang Sadar bukanlah pelabuhan pertama bagi Mawar. Ia pernah bekerja di sekitar kawasan wisata di Bandungan, Semarang. Mawar mengakui, pekerjaan yang ditekuninya merupakan buah perbuatan nakalnya. "Saya yang nakal, bukan orangtua," ucapnya.
Ia keluar rumah setelah terjadi pertengkaran dengan orangtuanya semasa ia duduk di kelas I sekolah menengah atas. Pertengkaran itu membuat ia tak nyaman berada di rumah dan memutuskan pergi bersama temannya.
Mawar menghabiskan hari-harinya di Bandungan, melayani para tamu untuk sekadar minum. Beberapa bulan ini, ia pindah ke Gang Sadar untuk pekerjaan serupa, tetapi ditambah dengan tugas melayani para tamu sebagai pekerja seks komersial.
Ketiga teman Mawar, sebut saja Lily (18), Melati (17), dan Bunga (17), menuturkan hal serupa. Mereka tak merasa nyaman lagi tinggal di rumah. Rencana pihak Polwil Banyumas memulangkan mereka ke rumah orangtua pun ditolak. "Kami tidak mau pulang ke rumah. Balikin saja ke Baturraden," ucap mereka bergantian.
Bahkan, Lily lebih memilih dipulangkan ke Bandung, tempat pacarnya. "Lebih baik tinggal dengan pacar daripada pulang ke rumah," ucapnya.
Lily yang berparas paling cantik di antara ketiga temannya itu mengaku tak ada lagi tempat bagi dirinya di rumah. "Ayah saya pernah mengatakan lebih baik saya tidak pernah pulang ke rumah. Saya sudah seperti ini, mau jadi apa juga terserah," tuturnya.
Lily mengaku tak kekurangan uang. Segalanya tercukupi. Hanya saja, semenjak ia dipaksa menikah dengan lelaki pilihan ayahnya, ia mulai berontak. "Saya dipaksa dijodohkan, saya nekat berhubungan dengan pacar biar hamil. Ayah marah," tuturnya.
Perjalanan hidup Lily sebagai pekerja seks komersial dimulai ketika Lily kerap mengunjungi tempat hiburan malam di Baturraden bersama temannya. "Karena ayah marah, saya mulai acap kabur dari rumah. Akhirnya saya suka ikut teman ke tempat hiburan malam. Di sana saya diajak seorang teman untuk berkunjung ke GS (Gang Sadar)," ungkapnya.
Lily tak menyangka ada lokalisasi di sekitar Baturraden. "Saya baru tahu sekali itu. Seumur-umur saya tidak pernah menyangka ada tempat seperti itu. Tapi karena orangtua keras, saya mengikuti teman saya itu saja," ucapnya.
Sebaliknya, Bunga, paling muda dibandingkan dengan lainnya, sukarela bekerja sebagai pekerja seks komersial karena sering kali disiksa ayah tirinya. "Saya pernah dipukul pakai golok. Punggung saya pernah sobek karena dipukul pakai pisau. Makanya lebih baik balik ke Baturraden saja daripada pulang ke rumah," ungkapnya.
Bekerja sebagai PSK sekalipun, menurut dia, juga membantu kelangsungan pendidikan adik-adiknya. Setiap seminggu sekali ia mengirim uang lebih dari Rp 100.000 untuk dua adiknya yang masih duduk di kelas I sekolah menengah pertama dan kelas III sekolah dasar. "Saya juga sering kirim uang ke ibu. Kasihan, karena ayah tiri saya juga tidak bekerja," ucapnya.
Rupanya tak hanya Bunga yang melakukan hal itu. Mawar dan Melati juga rutin mengirimkan uang ke rumah, kecuali Lily yang sudah tak berhubungan lagi dengan ayahnya. Dengan sendirinya, mereka mengakui orangtua mereka mengetahui pekerjaan mereka sebenarnya.
Seperti dituturkan Mawar, rencana dirinya pulang ke Kendal pun adalah untuk memberikan uang kepada orangtuanya. Uang itu, katanya, akan digunakan untuk menebus sepeda motor orangtuanya yang digadaikan seharga Rp 500.000. "Rencananya saya pun akan berhenti dari pekerjaan ini (sebagai PSK) kalau utang orangtua saya itu sudah lunas," ucap Mawar.
Sebaliknya Melati yang tak banyak omong dan beberapa kali menangis juga mengakui rutin mengirimkan uang ke orangtuanya. "Saya suka kirim uang ke orangtua, tapi saya tidak ingin mereka tahu saya digaruk polisi seperti ini," ungkapnya.
Menurut ahli kejiwaan dr Basiran SpKj di RSUD Banyumas, anak-anak yang terjerumus sebagai PSK dapat disebabkan oleh beberapa permasalahan, bukan sekadar permasalahan ekonomi. Ada sejumlah tekanan yang membuat mereka lari dari kenyataan dan akhirnya memilih berkecimpung dalam dunia pekerjaan itu.
Friday, May 18, 2007
Prostitusi: Kami Tak Mau Pulang
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:10 AM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment