Kompas - 18052007
Jakarta, Kompas - Kamar Dagang dan Industri atau Kadin secara resmi meminta kepada pemerintah agar mengembalikan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS ke posisi Rp 9.000-Rp 9.100 per dollar AS. Nilai tukar saat ini, yakni Rp 8.740-Rp 8.750 per dollar AS dinilai tidak menguntungkan bagi dunia usaha, terutama eksportir.
"Kami mengimbau pemerintah ikut menjaga kepentingan dunia usaha. Nilai mata uang itu harus distabilkan dalam tingkat tertentu. Sekarang, yang ideal adalah Rp 9.000-Rp 9.100 per dollar AS. Kalau lebih rendah (posisi menguat), eksportir akan dirugikan. Kalau memang ingin ada penguatan, sebaiknya secara gradual," ujar Ketua Umum Kadin MS Hidayat usai menghadiri acara silaturahmi antara Kadin dan menteri baru Kabinet Indonesia Bersatu, di Jakarta, Rabu (16/5).
Ketika ditanya peran pemerintah yang dimaksudkannya, Hidayat hanya menyatakan, stabilisasi nilai tukar rupiah itu bisa dilakukan Bank Indonesia (BI) setiap saat hingga posisinya kembali ke level yang menguntungkan dunia usaha. "Ini kan tugas BI. Tinggal keputusan BI kapan akan membeli atau menjual (dollar AS)," katanya.
Nilai tukar rupiah terus mengalami apresiasi menyusul besarnya aliran modal asing yang masuk memborong surat-surat berharga di pasar modal. Berdasarkan pantauan, Rabu, beberapa tempat penukaran uang menawarkan nilai tukar pada posisi Rp 8.740-Rp 8.750 per dollar AS, atau menguat dibanding sehari sebelumnya yang ditawarkan pada level Rp 8.790 per dollar AS.
Dalam kesempatan terpisah, Deputi Gubernur BI Aslim Tadjuddin mengatakan, BI tidak menargetkan posisi rupiah karena Indonesia menganut rezim nilai tukar mengambang. Artinya nilai tukar rupiah akan bergerak sesuai penawaran dan permintaan di pasar. Yang dilakukan BI adalah menjaga volatilitasnya tidak bergejolak secara tajam. "Kestabilan nilai tukar sangat penting karena semua pihak bisa membuat perencanaan yang lebih akurat," katanya.
Justru positif
Menurut Aslim, berdasarkan studi dan survei, penguatan rupiah saat ini sangat positif untuk perekonomian Indonesia. Penguatan rupiah akan menurunkan inflasi dan akhirnya meningkatkan daya beli masyarakat. Biaya produksi pelaku usaha, termasuk biaya impor akan turun. Eksportir yang juga importir tentu akan diuntungkan.
"Dalam jangka pendek, hasil yang diterima eskportir memang relatif lebih sedikit. Tapi, jangka panjang, usaha mereka pasti akan lebih baik," kata Aslim.
Dia mengatakan, saat ini justru merupakan momentum tepat bagi eksportir meningkatkan efisiensi dan kualitas produk.
Pengamat moneter Iman Sugema mengatakan, yang paling penting adalah kestabilan nilai tukar. Artinya BI jangan sampai membiarkan penguatan dan pelemahan yang terlalu drastis.
"Di level Rp 8.700 per dollar AS, produk kita masih kompetitif karena telah dikompensasi dengan kenaikan harga komoditas di pasar internasional. Tapi untuk produk manufaktur mengalami masalah daya saing yang digerus ekonomi biaya tinggi. Karena itu pokok masalahnya, bukan nilai tukar," kata Iman. Menurut Iman, BI perlu menjaga kestabilan rupiah di rentang Rp 8.700 - Rp 9.000 per dollar AS.
Mengenai aliran dana asing yang masuk ke pasar modal, Hidayat menyatakan, jangan mengharapkan akan diserap sektor riil karena tujuan awalnya pun sudah berbeda. Para pemilik dana itu hanya bermotivasi mengambil untung dari selisih harga jual dan beli surat-surat berharga di pasar modal domestik. Mereka membeli surat berharga untuk portofolio, hanya sesaat, kapan pun bisa keluar lagi. Sementara arus dana untuk investasi riil yang berjangka panjang, akan datang dengan berbagai rencana bisnis yang jelas.
"Jadi, mereka masuk ke Indonesia karena tingkat pengembaliannya lebih tinggi dibandingkan jika disimpan di Jepang yang hanya menjanjikan pengembalian hasil maksimal 2-3 persen," ujar Hidayat.
Meski demikian, kata dia, aliran dana masuk itu memiliki dua arti positif. Pertama, menunjukkan adanya harapan perbaikan risiko berusaha di Indonesia. "Kedua, menunjukkan stabilitas makro-ekonomi meskipun dananya tidak ke sektor riil," ujar Hidayat.
Kegelisahan global
Membanjirnya dana global ke pasar modal yang membuat harga saham terus menggelembung, bukan hanya mencemaskan di negara atau pasar berkembang, sebab hal itu juga mengkhawatirkan di kalangan pelaku pasar pasar finansial yang telah maju.
Di tengah maraknya aliran dana global yang membanjiri pasar modal, seorang manajer investasi Fidelity dari Inggris, Anthony Bolton memperingatkan bahwa kesuraman akan melanda industri finansial.
“Kita mengalami pasar yang membaik selama empat tahun. Saya berpendapat sulit sekali saat ini mendapatkan saham yang murah. Saham dengan risiko tinggi dan rendah sama-sama naik harganya belakangan ini. Itu tanda-tanda yang membahayakan," ujar Bolton seperti dikutip Financial Times. (OIN/faj/joe)
Friday, May 18, 2007
Nilai tukar: Kadin Minta Pemerintah Perhatikan Kurs Rupiah
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:07 AM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment