Friday, May 18, 2007

Murtad

Kompas - Jumat, 18 Mei 2007

Murtad! Dakwaan sungguh dahsyat. Tobat! Tuntutan tanpa debat. Pilih satu mati, pilih lain hidup. Tiada kompromi. Murtad atau tobat. Neraka atau surga. Tanpa jalan tengah. Tiada jembatan di antaranya. Begitulah agama-agama eksklusif asal Timur Tengah bikin garis pembelah kemanusiaan.

Berabad-abad garis ini membagi manusia dalam kelompok-kelompok yang kadang hidup berdampingan dalam keadaan kurang lebih damai, lebih sering dalam permusuhan dan pertentangan. Yang jelas, selalu dalam kesadaran dikotomi orang dalam-orang luar, kami-kamu. Baik murtad maupun tobat berarti berputar balik. Mengapa yang satu disebut murtad yang lain tobat tidak bergantung pada tindakan orang yang berputar balik itu, melainkan pada orang yang menilai. Kalau orang yang sebelumnya berjalan bersama saya berbalik arah membelakangi saya, dia saya sebut murtad, berubah jadi kamu. Kalau dia yang sebelumnya berjalan bertentangan dengan saya berputar ke arah yang saya tuju, dia saya sebut tobat, masuk jadi kelompok kami. Acuan adalah aku. Karena agamaku itulah yang benar, orang yang meninggalkan agamaku murtad, yang masuk agamaku tobat. Murtad akibat sesat dihasut. Tobat akibat sadar tawakal. Si murtad durhaka jahat. Si tobat saleh taat.
Tobat punya makna lebih luas daripada sebagai antonim murtad. Karena berbalik kepada agamaku yang benar itu baik adanya, tobat pun bisa berarti berbalik dari perbuatan jahat ke kelakuan baik, insaf.
Murtad pun bisa dipakai bukan dalam rangka agama. Orang bisa murtad terhadap tradisi, kebiasaan, adat. Yang menarik, biasanya kata ini baru dipakai bila orang yang dianggap murtad tak melakukan hal yang merugikan atau menyusahkan orang lain. Seorang perampas nyawa atau harta, murtad atau tidak, akan disebut pembunuh atau perampok, lantas berlandaskan itu dihukum. Justru orang yang tak melakukan kejahatan atau menghasut orang berbuat jahat, tapi dianggap berkhianat terhadap keyakinan kelompok, diberi cap murtad, agar ada alasan menyakitinya, disingkirkan dari pergaulan sampai dari muka bumi.
Orang murtad biasanya tak dianggap berpindah agama karena pilihannya sendiri sebagai orang dewasa mandiri, melainkan menjadi korban pemurtadan. Konsep pemurtadan sangat defensif dan khas. Bahasa Inggris, misalnya, tak mengenal bentukan apostasy (dari kata Yunani/Latin apostasia: hal menyingkir) dengan makna ini. Ada apostatizing yang kadang dipakai untuk menerjemahkan pemurtadan. Ini tidak tepat sebab apostatizing mengacu pada tindakan menyingkirkan atau memurtadkan diri sendiri, bukan memurtadkan orang lain.
Yang biasa jadi perdebatan: bolehkah menyebarkan agama kepada orang lain? Pada dasarnya jawaban ideal: kalau golongan saya mau mempertobatkan orang lain, boleh; kalau golongan lain ingin memurtadkan anggota kelompok saya, larang.
Tersamar di sini adalah pertanyaan yang lebih prinsip mengenai hak asasi orang—mengapa orang seorang yang merdeka, waras, dan mandiri tak boleh murtad atau tobat menurut kehendak dan pilihan sendiri? Mengapa keyakinan iman seorang dewasa yang berakal budi harus dikontrol orangtuanya, komunitasnya, bahkan sampai dengan taruhan nyawa?
SAMSUDIN BERLIAN Pengamat Bahasa

0 comments: