Thursday, May 31, 2007

Nestapa ODHA di Tanah Suci

REPUBLIKA - Kamis, 31 Mei 2007

Akibat salah pergaulan, Adek (bukan nama sebenarnya) rela mengotori masa mudanya dengan kebiasaan tercela. Dia begitu akrab dengan narkoba. Waktunya banyak dihabiskan untuk aktivitas yang merusak dirinya. Di luar kesadarannya, kebiasaan tersebut kemudian membuat dirinya menjadi positif HIV/AIDS (orang dengan HIV/AIDS, ODHA). Pria berumur 26 tahun itu kemudian berniat ingin memperbaiki hidupnya.
Bersamaan dengan itu, datanglah seseorang yang menawarinya bekerja di Arab Saudi. Tawaran inipun diterimanya dengan senang hati. ''Tawaran bekerja di Madinah aku bayangkan pintu menuju pertobatanku, namun sesampainya di Madinah niat pertobatanku berubah menjadi penyiksaan lantaran aku mengidap HIV/AIDS,'' kata Adek asal Kampung Melayu, Kecamatan Tebet, Jaksel. Begitulah derita hidup yang harus dijalani Adek.
Bersama seorang warga negara Myanmar, pertengahan April 2007, Adek di diborgol kedua kaki dan tanganya oleh petugas imigrasi (jawazat) Kota Madinah. Keduanya terdeteksi HIV/AIDS oleh petugas kesehatan setempat saat mengurus izin tinggal (iqomah). Untuk mendapatkan izin tersebut, yang bersangkutan memang harus menjalani prosedur check-up. Dari pemeriksaan itulah dia kemudian diketahui positif mengidap virus HIV/AIDS.
Dengan pengamanan ketat dari petugas imigrasi, keduanya kemudian digelandang dengan kaki dirantai bak tahanan teroris untuk dibawa menuju lembaga pemasyarakatan ke Sarfiyah (salah satu wilayah di Madinah). ''Fisik dan psikisku drop. Aku digelandang dengan kaki dirantai menuju lembaga pemasyarakatan dengan pengawalan ketat,'' tutur dia mengisahkan.
Di ruang tahanan yang penuh sesak bercampur ratusan tahanan yang mengidap berbagai jenis penyakit, kondisi Adek menjadi semakin memburuk. Tas miliknya yang berisi obat-obatan dan berbagai perbekalan telah disita oleh pertugas imigrasi. ''Saya telat obat selama tiga hari, hidungku berdarah-darah dan diareku terus berlangsung karena kekebalanku dari hari ke hari melemah,'' kata Adek melanjutkan ceritanya di RS Kramat saat mengikuti seminar sehari Penatalaksanaan HIV/AIDS belum lama ini.
Menurut pandangan dia, nasib buruk yang dialaminya itu tak lepas dari kinerja Konsulat Jenderal RI di Madinah. Dia memandang, lembaga tersebut tak pernah memberi perlindungan dan memperjuangkan dirinya supaya bisa secepatnya pulang ke Indonesia. Semestinya, kata Adek, dia bisa segera dideportasi karena kasus yang menimpanya itu bukanlah kasus kriminal.
Dalam kondisi lemah, dia meminjam handphone milik tahanan lain yang satu ruangan dengannya. Adek kemudian menghububgi keluarganya di Jakarta meminta bantuan sejumlah politisi dan pejabat berpengaruh agar dia bisa cepat kembali. Pada akhir April 2007, Adek akhirnya bisa pulang ke Tanah Air dalam keadaan kritis. ''Dengan bantuan sejumlah dokter dan pejabat di Jakarta aku bisa pulang dengan kondisi kritis, karena aku sudah telat obat lebih dari tiga hari,'' ujar dia.
Menurut Zubairi Djoerban (ketua Masyarakat Peduli Aids Indonesia/MPAI) memang pengidap HIV/AIDS tidak boleh telat obat hingga tiga hari. Kalau sampai telat, virus yang datang lagi akan lebih kuat dan sangat mematikan. ''Karena itu kami menekankan agar orang dengan HIV/AIDS selalu berhati-hati dan ingat dengan waktu meminum obat,'' ungkap dia.
Untunglah, Adek kemudian berhasil melewati kondisi kritis tersebut. Dia akhirnya bisa menjalani kehidupan sebagai mana mestinya. Dalam forum tersebut, dia juga mengisahkan asal-muasal HIV/AIDS yang dideritanya. ''Dua sepupuku dan aku tertular HIV/AIDS karena lingkungan dan keluargaku pecandu narkoba. Dua sepupuku sudah meninggal, kini tinggal aku dan istriku,'' ungkap Adek .
Kedua saudara sepupunya itu memang baru diketahui setelah HIV/AIDS yang diidapnya sudah berada pada stadium akut. Kepastian ini diperoleh setelah kedua saudara sepupu Adek ini menjalani injection drugs use IDU paada 1999. Sedangkan Adek baru diketahui positif HIV/AIDS di tahun 2003.
Akibat serangan virus ganas itu, kekebalan kedua sepupunya itu terus menurun, Iwan (26) bukan nama sebenarnya, kakak sepupunya, meninggal pada 2000 saat menjalani rawat inap di RS Dharmais Jakarta Barat. Sedangkan Budi (22) juga bukan nama sebenarnya, adik sepupunya, meninggal di Sumatra Utara saat melakukan perjalanan dengan sebuah kapal pada 2001. Waktu itu, dia tiga hari telat minum obat dan kemudian kritis sampai akhirnya meninggal.
Ibarat api sudah telanjur berkobar, siapa pun yang mendekat akan terbakar. Kenyataan pahit dan penyesalan harus diterima Adek. Istri yang amat dicintainya, dan telah memberi seorang anak laki-laki juga positif HIV/AIDS. Kemungkinan besar, istrinya tertular dari Adek sendiri melalui hubungan suami istri. ''Itulah yang aku tak menyadari. Aku masih normal. Virus yang menyerangku tidak mengganggu kebutuhan biologisku, itulah kebesaran Allah,'' kata dia.
Yang mencengangkan, ungkap Adek, saat dia dipastikan terinfeksi HIV/AIDS istrinya telah mengandung tiga bulan. Waktu itu, kemungkinan besar istrinya juga sudah positif HIV/AIDS. Namun, ternyata Allah menakdirkan lain. Biasanya, wanita hamil yang terinfeksi HIV/AIDS sangat berisiko menularkan penyakit itu kepada janinnya. ''Alhamdulillah, anakku negatif, dialah yang membangkitkan hidupku, yang membuat hari-hariku bahagia,'' ungkap dia sambil menggendong dan menciumi buah hatinya yang baru berumur 3 tahun itu. uki

0 comments: