Thursday, May 31, 2007

RENUNGAN WAISAK 2551/2007: Hidup Itu Saling Bergantungan

KOMPAS - Kamis, 31 Mei 2007

Mahathera Nyanasuryanadi

Sejumlah negara telah merayakan Waisak pada hari purnama 2 Mei lalu. World Fellowship of Buddhists menetapkan bahwa Hari Buddha jatuh saat bulan purnama pada bulan Mei. Apabila ada dua purnama, yang dipilih adalah yang pertama.
Namun, negara-negara yang memerhatikan kalender Imlek merayakan Waisak tanggal 31 Mei agar bertepatan dengan bulan 4 (si-gwee) penanggalan Tionghoa. Untuk menyesuaikan perhitungan berdasar peredaran Bulan dengan peredaran Matahari, kalender Imlek memiliki bulan sisipan (lun). Beberapa negara lain, berdasar tradisi Mahayana, merayakan hari kelahiran Pangeran Siddharta yang kemudian menjadi Buddha pada 8 si-gwee, tepatnya 24 Mei 2007. Di Indonesia, Waisak baru dirayakan 1 Juni 2007 sesuai perhitungan astronomi.
Tiga peristiwa
Ada tiga peristiwa yang sekaligus diperingati pada hari Waisak, yaitu saat kelahiran, pencapaian penerangan sempurna, dan Parinirwana atau meninggalnya Buddha Gotama.
Peringatan itu terutama untuk mengenang kehadiran Buddha serta menangkap makna dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia sekarang. Yang diperingati adalah peristiwa, bukan waktu. Bagaimanapun satu momen waktu ada dalam keseluruhan waktu, sedangkan setiap satu detik mengandung waktu lampau, kini, dan yang akan datang. Melalui waktu lampau, orang dapat melihat waktu sekarang dan yang akan datang. Pada waktu sekarang, orang dapat melihat waktu lampau dan yang akan datang. Melalui waktu yang akan datang, orang dapat melihat waktu lampau dan sekarang.
Detik Waisak, saat purnama sidi, tepatnya jatuh pukul 08.03.27 menjadi sebuah kesempatan untuk memasuki keheningan yang penuh kedamaian. Dalam keheningan kita memusatkan perhatian, yang seperti dikemukakan Anthony de Mello, membuat kita dapat menyadari kehadiran Tuhan, menyertai hirupan dan embusan napas. Kita belajar mendengarkan irama dari napas dan denyut kehidupan sosok tubuh kita. Kita mendengar irama dari desir angin, gesekan dedaunan, kicau burung, simfoni bisikan alam yang menakjubkan. Satu suara memengaruhi semua suara, semua suara memengaruhi satu suara. Setiap eksistensi saling memengaruhi.
Kita menemukan bahwa segala sesuatu di dalam dan di luar diri kita tidak berdiri sendiri. Segalanya saling berhubungan dan saling bergantungan. Semua mengambil bagian dalam hidup yang sama. Matahari, Bintang, Bumi, lautan, pohon, burung, ikan, dan manusia mempunyai asal ontologis yang sama. Tidak ada fenomena di alam semesta ini yang tidak memengaruhi hidup manusia, dari setetes air di dasar samudra sampai gerakan galaksi yang ada jutaan tahun cahaya jauhnya.
Mengatasi penderitaan
Setiap orang tahu, jika jantung berhenti berdetak, maut menjemput. Namun, sejauh mana manusia memerhatikan hal-hal di luar tubuhnya yang juga menentukan kelangsungan hidupnya? Bila ozon yang melapisi Bumi lenyap, manusia akan mati. Setiap orang tahu, jika paru-parunya rusak, ia akan sekarat. Seharusnya ia juga menyadari bahwa hutan adalah paru-paru yang ada di luar tubuh manusia. Tanpa tumbuh-tumbuhan, bagaimana manusia dapat hidup? Jadi, kita tidak boleh membiarkan jutaan hektar hutan dibabat, atau mencemari udara, sungai, dan sebagainya.
Manusia tidak dapat hidup sendiri. Selalu ada interaksi dan interdependensi. Maka, kita seharusnya saling melindungi. Bagaimana manusia dapat hidup bahagia di atas penderitaan orang lain? Kita tentu amat peduli dengan mereka yang kelaparan dan yang ketakutan, yang tak berdaya menghadapi tekanan. Waisak mengingatkan kita bahwa mengatasi penderitaan adalah tema sentral ajaran Buddha.
Segala hal yang kita pikirkan, setiap kata yang kita ucapkan, setiap tindakan yang kita lakukan menciptakan sebuah riak dalam hubungan yang saling bergantungan. Tak ada kontak, tak ada persepsi, tak ada keterlibatan yang tidak penting. Setiap hubungan memberi kita kesempatan untuk belajar bagaimana mengesampingkan keakuan, memberi dan menerima dengan cinta dan hati yang terbuka. Buddha mengatakan, segala sesuatu didahului dan dibentuk oleh pikiran. Hidup kita kini adalah cermin pikiran-pikiran pada masa lalu. Pikiran kita kini menciptakan kehidupan masa depan. Para ahli fisika kuantum mencoba untuk menjelaskan bahwa seluruh semesta muncul dari pikiran!
Rhonda Byrne mengungkapkan rahasia dari banyak orang yang sukses: saat ia memikirkan suatu pikiran, ia juga menarik pikiran-pikiran serupa ke dirinya. Pikiran bersifat magnetis dan memiliki frekuensi. Ketika kita berpikir, pikiran-pikiran itu dikirim ke Semesta dan secara magnetis pikiran akan menarik semua hal serupa yang berada di frekuensi yang sama. Segala sesuatu yang dikirim ke luar akan kembali ke sumbernya: si pemikir. Dia menyebutnya mukjizat berpikir positif. Jika kita merasa benci atau iri, itu menjadi jalan kita dan dunia akan merespons sesuai dengan itu sehingga kita sendiri menderita. Jika kita memiliki kesadaran, belas kasih, dan kebijaksanaan, itu menjadi jalan kita dan dunia akan merespons sesuai dengan itu sehingga membawa kebahagiaan bagi kita. Hukum tarik-menarik ini, yang dipandang sama pentingnya dengan hukum gravitasi, menunjukkan sebuah bentuk interdependensi atau kesalingbergantungan.
Apa saja yang ada di jagat raya ini dimungkinkan hadir karena terkondisikan dengan adanya kehadiran yang lain. Ketika ini hadir, itu terjadi; karena munculnya ini, maka muncullah itu. Sebaliknya, ketika ini tidak ada, itu tidak ada; dengan berhentinya ini, maka berhentilah itu. Kesalingbergantungan atau hubungan yang terkondisi sebagai sebab-akibat ini merupakan esensi ajaran Buddha. Karena itu dikatakan, barang siapa melihat sebab-musabab yang saling bergantungan, ia melihat Dharma.
Ada banyak sebab yang saling terkait. Tidak hanya dalam peristiwa alam, seperti letusan gunung berapi, gempa, tsunami, banjir, longsor, kebakaran hutan, hukum tersebut juga bekerja dalam bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, mental dan psikologi, dan lain-lain. Hukum sebab-musabab yang saling bergantungan menjelaskan kenapa dan bagaimana makhluk-makhluk terlahir di dunia. Mengapa ada yang terlahir sehat, ada yang cacat, ada yang cantik ada yang jelek. Karma tak lain dari perbuatan dalam konteks sebab akibat, yang sering diilustrasikan sebagai menabur dan menanam benih. Setiap orang akan memetik buah yang sesuai benih yang ia tanam. Ada karma individual, ada karma kolektif.
Konsep kesatuan
Kesalingbergantungan tidak dapat dipisahkan dari konsep kesatuan. Satu dalam semua, semua dalam satu. Kesatuan tidak dapat eksis tanpa perbedaan. Dapat dikatakan, kesatuan adalah perbedaan, dan perbedaan adalah kesatuan. Manusia hidup bersama pun dalam perbedaan, dan perbedaan itu sudah menjadi kebutuhan. Perbedaan menjadi suatu yang saling melengkapi, saling mendukung. Pemahaman akan kesatuan dan perbedaan semakin perlu ketika sebuah komunitas tidak lagi dapat menutup diri menghadapi globalisasi yang membuat dunia kehilangan batas-batas budaya, rasial, bahasa, dan geografis.
Pluralisme menjadi sebuah keniscayaan. Dalam kehidupan spiritual berarti kita tidak dapat memaksakan kebenaran kita sendiri kepada orang lain. Berdasar cara pandang ini seharusnya kita mengembangkan inklusivisme dan universalisme agar dapat menghadirkan kedamaian. Adapun sikap sektarian hanya akan menimbulkan disharmoni. Tidak pelak lagi, inilah yang ingin dikemukakan Empu Tantular dalam pernyataan bhinneka tunggal ika, tan hana dharmma mangrwa, berbeda-beda namun satu, tiada kebenaran bermuka dua.
Saat berhadapan dengan misteri alam semesta, kita bertanya dari mana semua itu berasal? Apa arti semua itu? Planet, bintang, musim, makhluk, mereka semua muncul dan menghilang. Setiap akhir menjadi awal dari permulaan yang baru. Setiap kematian memberi kelahiran dari bentuk baru kehidupan. Jika kita mau melihat secara mendalam, dapat dikatakan hidup dan mati adalah dua realitas yang sama. Tumbuh-tumbuhan lahir, hidup untuk beberapa saat, lalu kembali ke bumi. Daun-daun dan bunga yang segar akan menjadi layu dan busuk. Setelah mereka terurai, menjadi pupuk yang menyuburkan taman kita. Pupuk dan daun atau bunga saling membutuhkan. Beberapa waktu kemudian, dari unsur yang membusuk itu muncul kembali tumbuh-tumbuhan dengan daun dan bunga segar. Tumbuh-tumbuhan dan tanah saling bergantung. Begitu pula dengan sinar matahari, awan, hujan, dan segala yang ada di alam semesta ini.
Dengan cara pandang ini, Biksu Thich Nhat Hanh mengajak kita semua melihat kepada diri sendiri. Kita akan menemukan baik bunga maupun pupuknya. Semua orang mempunyai kemarahan, kebencian, kekhawatiran, berbagai bentuk tekanan, dan banyak sampah busuk lainnya. Seperti tukang kebun yang tahu bagaimana mengubah bagian dari tumbuh-tumbuhan yang membusuk menjadi pupuk, dan mengubah pupuk menjadi bunga, kita dapat belajar seni mengubah sampah dalam diri menjadi sesuatu yang indah. Apa itu yang indah? Cinta, pengertian, kebijaksanaan, dan kedamaian yang membuat hidup kita bahagia. Dengan mengubah diri, kita dapat membawa perubahan pada dunia luar.
Ketika tidak lagi bisa mengendalikan atau menghentikan sebuah situasi yang sulit, kita dapat belajar untuk menemukan sebuah keseimbangan.
Selamat Hari Waisak 2551.

Mahathera Nyanasuryanadi
Ketua Umum Sangha Agung Indonesia; Pembina Majelis Buddhayana Indonesia

0 comments: