Wednesday, May 23, 2007

Mengulang Tragedi Baku Tembak Polisi

REPUBLIKA - Rabu, 23 Mei 2007

Peristiwa penembakan Wakapolwiltabes Semarang, AKBP Lilik Purwanto, oleh anak buahnya Briptu Hance Christian masih sulit dilupakan. Tragedi yang terjadi 14 Maret 2007 itu, sangat mencoreng nama baik lembaga kepolisian.
Kini, tragedi serupa kembali mengotori citra kepolisian. Kasat Lantas Polres Merauke, AKP Ronny Pasaribu, di Merauke, Selasa sekitar pukul 09.30 WIT menembak mati anggotanya, Briptu Hidayat. Peristiwa mengenaskan itu terjadi di Hotel Asmat, Merauke, Papua, pada Selasa 22 Mei 2007 pukul 08.45 WIT. Setelah menembak anak buahnya, AKP Rony kemudian menembak dirinya sendiri hingga tewas.

Kapolda Papua, Brigjen Pol Max Donald Aer, mengungkapkan akibat penembakan itu, di tubuh Hidayat terdapat empat peluru yang bersarang. ''Ada empat tembakan di bagian kepala, dan di bawah ketiak. Sedangkan pada tubuh pelaku ada satu tembakan di kening,'' ujar dia dalam situs www.polri.go.id.
Max sendiri mengaku tidak tahu persis motif yang melatarbelakangi penembakan itu. ''Karena kedua orang ini meninggal, kita tidak bisa menduga-duga,'' tutur dia. Yang jelas, pihaknya menyatakan sedang terus menyelidiki kasus tersebut. Hingga tadi malam, jasad keduanya masih berada di Merauke.
Pernyataan serupa juga dikemukakan Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Sisno Adiwinoto. Menurut dia, kasus tersebut masih gelap. Lantaran korban maupun pelaku tewas, kata Sisno, polisi sulit menyelidiki motif pembunuhan tersebut. Kasus ini sekarang ditangani Polres Merauke dan Polda Papua.
Mabes Polri, menurut Sisno, akan menganalisis dan mengevaluasi internal Polri terkait kasus ini. Karena tersangka tewas, kata dia, kasus pembunuhan ini menjadi gugur demi hukum. ''Kami tetap mengumpulkan informasi, yang pasti tidak terlalu dalam,'' ujar dia di Jakarta, Selasa (22/5).
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane, menganggap Polri menjadi keliru kalau menilai para pelaku penembakan sesama anggota polisi adalah oknum. Pasalnya, menurut data yang dimiliki IPW, dalam dua tahun terakhir, terjadi 13 kasus serupa. ''Ini fenomena dua tahun terakhir, Polri harusnya mencermati itu,'' kata Neta.
Kasus-kasus penembakan sesama anggota Polri, dalam pandangan Neta terjadi akibat kesalahan sistem rekrutmen anggota Polri. Sistem rekrutmen yang ada selama ini, dinilainya, tidak sampai merekam data soal motivasi seseorang mendaftar menjadi anggota polisi. Ketidakjelasan motivasi calon polisi inilah yang mengakibatkan banyaknya polisi yang bermasalah dan labil mentalnya.
Kekeliruan sistem rekrutmen ini mulai disadari Polri. Karena itu, mulai 2008 nanti, Akademi Kepolisian (Akpol) hanya menerima taruna yang minimal lulusan sarjana. Neta menyatakan langkah pembenahan tersebut perlu diapresiasi. Dengan membatasi calon taruna Akpol minimal sarjana, setiap anggota polisi akan mejadi matang secara umur ketika menduduki jabatan dan pangkat tertentu. Seiring dengan itu, dia meminta tes psikologi terhadap para anggota Polri terus diintensifkan.
Meski masih gelap, kasus yang terjadi di Merauke memperpanjang tragedi penembakan mematikan yang dilakukan aparat kepolisian tanpa dasar hukum yang jelas. Selain peristiwa penembakan Wakapolwil Semarang, sebelumnya seorang anggota Unit IV, Direktorat Narkoba Polda Jabar, Brigadir Sofyan (32 tahun), meregang nyawa setelah pistol di tangannya menyalak. Peristiwa yang terjadi 12 Maret 2007 itu dianggap kecelakaan murni.
Kejadian itu bermula dari jatuhnya senjata jenis colt detective special Sofyan saat yang bersangkutan membuat laporan di ruang kerjanya. Sebelum menyentuh lantai, senjata tersebut ditangkap Sofyan. Saat senjata akan disimpan, korban sempat diingatkan agar berhati-hati dengan senjatanya oleh Perwira Administrasi Dit Narkoba Jabar, AKP Endang. Namun, senjata yang dipegang Sofyan itu keburu meletus dan menembus leher korban.
Sebelumnya pada Kamis 8 Maret 2007, seorang anggota polisi di Polres Bangkalan, Madura, juga tewas akibat tembusan peluru. Kali ini, penembakan memang terjadi akibat yang bersangkutan bertindak di luar hukum. Polisi yang seenaknya menggunakan senjata api itu adalah Briptu Rifai Yulianus. Peristiwa tragis ini diduga disebabkan oleh api cemburu yang berlebihan terhadap istrinya, Ariani Widiastuti.
Entah apa yang terjadi, setelah berbincang sebentar, dengan disaksikan beberapa orang, Rifai langsung mengamuk dan menembak Ariani. Selain itu, dia kemudian juga menghabisi nyawa ibu mertuanya, Asma, Pujiyanto Hidayat (rekan Rifai), dan Satrio Prabowo (pria yang dituduh Rifai sebagai pacar gelap Ariani). Penembakan beruntun inipun mengejutkan warga Kampung Kauman, Kel Tunjung, Kec Burneh, Bangkalan, yang berada di dekat lokasi. Setelah menembak orang-orang tersebut Rifai kemudian mengakhiri hidupnya dengan menembak kepala sendiri.
Atas serangkaian peristiwa penembakan tersebut Sisno berharap agar di masa mendatang, proses seleksi anggota kepolisian bisa dijalankan lebih ketat. Namun, dia tidak sependapat jika beberapa tragedi penembakan di luar jalur hukum yang dilakukan anggota Polri itu terjadi karena kesalahan sistem di tubuh kepolisian. ''Kami sudah mendeklarasi kasus-kasus ini adalah masalah pribadi masing-masing, bukan sistemnya yang salah,'' ujar Sisno menegaskan. (dri/ant )


0 comments: