Wednesday, May 23, 2007

setahun pascagempa: Trauma Tak Kunjung Sirna

KOMPAS - Rabu, 23 Mei 2007

Defri Werdiono

Temaram lampu pijar menerangi separuh ruang rumah sementara atau semipermanen milik Sudiharjo (54), yang terbuat dari anyaman bambu. Senin (21/5) malam, jarum jam belum menunjuk pukul 21.00, tetapi suasana di rumah itu terasa sunyi.
Rumah bambu yang ditempati Sudiharjo itu cukup jauh masuk ke dalam dari jalan utama Imogiri-Panggang yang masuk wilayah Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

"Silakan masuk. Anda dari mana?" sapa Sudiharjo yang bersama istrinya, Ponijem (47), baru saja dibangunkan anaknya ketika Kompas bertandang.
Memakai celana pendek warna hitam, Sudiharjo hanya bisa terduduk tanpa beranjak dari dipan. Sedangkan Ponijem sibuk menggulung kasur kecil yang sebelumnya dipakai untuk alas tidur di atas lantai. "Maaf, kondisinya berantakan," katanya.
Selain sempit, sekitar 3 meter x 3,5 meter, ruangan yang sehari-hari digunakan sebagai tempat aktivitas utama suami-istri itu terlihat sederhana. Sebuah dipan lengkap dengan kelambu antinyamuk dan kipas angin kecil tertata apa adanya, berdekatan dengan perabotan lain dari kayu.
Satu peralatan lagi yang harus ada di dalam ruangan dan selalu dekat dengan Sudiharjo adalah pispot dan alat bantu jalan (kerk). Sebuah kursi roda yang biasa dipakai Sudiharjo untuk melihat-lihat sekitar rumah, malam itu, sengaja diletakkan di luar kamar.
Semua peralatan difabel tersebut harus selalu tersedia agar Sudiharjo yang menjadi korban gempa setahun lalu itu bisa beraktivitas.
Saat gempa terjadi pada Sabtu kelabu, 27 Mei 2006, gunungan rumah jatuh dan menimpa tulang belakangnya. Bagian bawah tubuh bapak empat anak itu tidak bisa digerakkan. "Saat itu saya mau lari, tetapi tiba-tiba gunungan rumah saya ambruk. Saya langsung tidak berdaya," ujar Sudiharjo.
Ia langsung dilarikan ke RS Panti Nugroho di Pakem, Sleman, dan harus dioperasi. Seusai operasi, ia pindah dan menjalani rehabilitasi di beberapa yayasan. Karena program rehabilitasinya habis, sejak Maret lalu, Sudiharjo berhenti dari kegiatan fisioterapi. Sebagai gantinya, ia kini lebih banyak mengandalkan obat-obatan yang diperoleh dari puskesmas sebagai peserta asuransi kesehatan bagi warga miskin (askeskin).
Sejak bencana itu, praktis semua urusan rumah tangga dilakukan anggota keluarga yang lain. "Yang membantu ekonomi saat ini adalah anak dan istri. Terkadang istri saya ikut kerja sebagai buruh tanam padi di sela-sela merawat saya," ujar ayah empat anak dan semuanya telah berkeluarga ini.
Akibat keterbatasan itulah setahun ini Sudiharjo lebih memilih tinggal di rumah semipermanen. Padahal, rumah permanen berbahan batu bata sebenarnya telah diperbaiki menggunakan bantuan dana rekonstruksi senilai Rp 15 juta ditambah uang bantuan dari anak-anaknya.
"Saya memilih tinggal di rumah semipermanen. Menantu saya yang terkadang tidur di dalam rumah baru. Saya belum sembuh total sehingga lebih tenang tinggal di sini. Apalagi getaran-getaran susulan biasa terjadi," ujarnya.
Rupanya, trauma pascagempa masih melekat di benaknya. Ia takut jika sewaktu-waktu terjadi gempa, sementara ia tidak bisa bergerak cepat untuk menyelamatkan diri.
Anak perempuannya, Sugiyanti (30), juga memilih ikut tidur di rumah berdinding bambu itu.
Dua rumah
Setahun pascagempa, rata-rata warga di Kabupaten Bantul memang mempunyai dua rumah yang letaknya berdekatan. Meski rumah permanen berdinding bata sudah banyak berdiri, masih banyak warga di Kecamatan Jetis, Bambanglipuro, Pundong, dan Pleret masih mempertahankan rumah bambu mereka.
Warga yang rumahnya masih dalam tahap penyelesaian umumnya lebih suka tinggal di rumah semipermanen. Selain sebagai tempat menginap alternatif, rumah-rumah itu ternyata menjadi andalan bila ada gempa.
Sahari (40-an), warga Kerto, Pleret, Kecamatan Pleret, mengaku bersama istri dan kedua anaknya lebih nyaman tinggal di rumah sementara yang dekat kandang kambing. Rumah permanennya belum selesai dibangun. Baru sebatas dinding depan, samping kiri, dan atap yang telah jadi. Sisi-sisi yang lain masih terbuka.
Hal yang sama dialami Hari Murti (45), warga RT 7 Dusun Kretek, Parangtritis, Kecamatan Kretek. Ia tetap mempertahankan tenda kecil berukuran 1 meter x 2 meter di sisi kiri halaman rumahnya.
Meski wilayah Kecamatan Kretek bukan daerah yang mengalami kerusakan terparah akibat gempa, tidak sedikit warga di daerah ini yang menjadi korban dan rumahnya rusak.
Hari sendiri mengaku sampai saat ini belum mendapatkan bantuan dana rekonstruksi. Ia juga tidak tahu apakah namanya masuk daftar susulan atau tidak. "Yang pasti, sampai saat ini belum ada orang yang datang dan menyurvei kami," ucapnya.
Selama setahun terakhir, ia bersama istrinya, Musinem (45), dan ketiga anaknya menempati rumah semipermanen berbahan anyaman bambu sumbangan dari salah satu lembaga swadaya masyarakat. Rumah permanen miliknya yang sebagian berdinding batako dibiarkan rusak karena tidak ada biaya untuk diperbaiki. Pekerjaannya sebagai petani tidak banyak mendatangkan uang untuk perbaikan rumah.
Musinem tidak habis pikir, mengapa para tetangga yang rumahnya mengalami kerusakan lebih ringan mendapatkan bantuan. Sedangkan keluarganya yang secara ekonomi tidak mampu justru belum mendapatkan bantuan dari pemerintah.
Memang masih ada korban gempa yang bernasib seperti Musinem. Mereka miskin dan terkena gempa yang parah, tetapi bantuan seret menghampiri mereka. Akan tetapi, secara umum, proses rekonstruksi dan pemulihan pascagempa di DIY berjalan relatif lebih baik dibandingkan dengan daerah lain. Justru trauma akan bencana yang hingga kini masih menghantui. (pra)


0 comments: