Wednesday, May 23, 2007

Perubahan Iklim: Indonesia di Tengah Konflik

KOMPAS - Rabu, 23 Mei 2007

Jakarta, Kompas - Indonesia harus mempersiapkan diri sebagai penengah atau mediator dalam Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim atau UNFCC Ke-13 di Bali, 3-14 Desember 2007. Sebab, saat ini tengah muncul konflik atas komitmen berbagai negara seperti Amerika Serikat, India, China, Rusia, dan negara-negara Uni Eropa dalam menyikapi isu perubahan iklim global.

"Mereka akan datang dalam konferensi nanti jika agenda kegiatan yang ditawarkan bisa menguntungkan mereka," kata Menteri Negara Lingkungan Hidup (Menneg LH) Rachmat Witoelar dalam kunjungannya ke Redaksi Kompas, Selasa (22/5), terkait sosialisasi UNFCC.
Ia menjelaskan, konferensi di Nusa Dua, Bali, itu akan dihadiri sekitar 10.000 orang meliputi 2.000 delegasi resmi dari 189 negara yang menandatangani kerangka kerja PBB.
Konferensi itu diliput sekitar 2.000 wartawan dan dihadiri 6.000 orang perwakilan lembaga swadaya masyarakat, akademisi, dan perusahaan.
Agus Purnomo, Staf Khusus Menneg LH, memaparkan, Amerika Serikat termasuk kelompok negara yang menolak ratifikasi Protokol Kyoto, yang mewajibkan pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 5 persen per tahun karena itu berarti beban biaya 400 miliar dollar AS.
Lebih lanjut Rachmat menjelaskan, pemerintah telah menetapkan agenda nasional yang intinya mendesak semua pihak agar sumber daya alam, terutama hutan, diamankan dan dipertahankan agar dapat mengatasi perubahan iklim. "Untuk itu, dunia diharapkan membantu secara finansial dan teknologi," ujarnya.
Dalam UNFCC, Agus Purnomo, selaku ketua harian panitia penyelenggara, mengatakan, Indonesia memiliki peluang memperoleh dana dari negara maju sebagai insentif dalam melaksanakan rehabilitasi dan pelestarian hutan.
Saat ini laju deforestasi hutan di Indonesia mencapai 1,8 juta hektar atau 2,1 persen per tahun. Bila Indonesia dapat menekan laju itu, setiap hektar pengurangan tersebut dapat dihitung insentifnya.
Selain itu, dengan menjaga hutan, areal hutan tersebut dapat dikonversikan ke dalam nilai penyerapan karbon yang akan dibayar negara maju. (NAW/YUN)

0 comments: