KOMPAS - Selasa, 26 Juni 2007
J Kristiadi
Dalam berpolitik dikenal ungkapan politics is the art of the possible. Dalam praktiknya, itu dapat berarti politik adalah seni yang bisa mengubah sesuatu yang tak mungkin menjadi mungkin karena politik dianggap sebagai pagelaran segala kemungkinan. Politik selalu berpeluang menciptakan kejutan yang kadang tak mudah dicerna.
Silaturahmi Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di Medan, 20 Juni lalu, adalah peristiwa politik yang mengejutkan, membingungkan, dan menghebohkan, mengingat kedua partai politik (parpol) berseberangan secara diametral. Golkar adalah partai pemerintah, sedangkan PDI-P berniat menjadi partai oposisi.
Masyarakat menebak ke mana arah silaturahmi politik itu akan menggelinding. Namun, terlepas dari spekulasi terhadap peristiwa itu, masyarakat juga punya harapan yang perlu dan harus diperhatikan elite kedua parpol.
Bagi sementara kalangan yang gandrung semangat kebangsaan, silaturahmi diharapkan menjadi awal dari koalisi yang bisa memperkuat posisi spirit kebangsaan. Harapan itu berdasar persepsi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di bawah ancaman perpecahan. Pemberlakuan otonomi khusus Papua dan penerapan syariat Islam di Aceh dijadikan indikasi pudarnya semangat kebangsaan. Selain itu, munculnya beberapa peraturan daerah dianggap sebagai menguatnya politik sektarian. Agenda koalisi harus diterjemahkan dalam kebijakan yang mengutamakan kepentingan orang banyak, tanpa membedakan ciri primordialistiknya.
Persepsi semangat kebangsaan ini tentu bisa diperdebatkan. Misalnya, sebagian masyarakat lain berpendapat kekhususan di Papua dan keistimewaan Aceh adalah bentuk dan manifestasi dari kebangsaan yang lebih menekankan pluralitas. Bagi kalangan ini, semangat kebangsaan yang overdosis akan terjebak dalam sikap menafikan keragaman bangsa.
Sementara kalangan yang lebih pragmatis mengharapkan silaturahmi Golkar dan PDI-P mengarah pada proses penyederhanaan kepartaian, sebagai satu syarat penting bila ingin mendesain pemerintahan presidensiil yang efektif.
Kehadiran partai yang banyak terbukti mempersulit konsensus politik, bahkan kadang ditambah dengan manuver politik elite yang dianggap tidak ada urgensinya, misalnya, tarik-menarik kehadiran presiden di DPR soal interpelasi Iran dan Lapindo.
Kasus itu menunjukkan perseteruan pemerintah dan DPR bukan mengenai substansi, melainkan sekadar adu gengsi dan kekuatan untuk menunjukkan siapa yang lebih berkuasa. Komunikasi politik yang dibangun kedua partai diharapkan dapat diperluas dengan melibatkan partai lain sehingga terjadi kristalisasi kelompok kekuatan politik yang mempunyai ideologi kebijakan sebagai identitas perjuangan yang lebih jelas, sebagai antitesa atas ideologi primordial.
Dalam menentukan pilihan ideologi, partai dapat memperjelas identitasnya dengan menentukan keberpihakannya kepada masyarakat yang akan dijadikan basis dukungannya. Dengan begitu, perdebatan ideologis akan menjadi perdebatan garis kebijakan partai dan bukan berkenaan sentimen primordial.
Bagi kalangan masyarakat ini, komunikasi politik kedua parpol diharapkan tidak hanya menyederhanakan jumlah partai, tetapi juga meningkatkan kualitas partai. Ideologi kebijakan secara bertahap akan menekan serendah mungkin ideologi primordialistik karena isu yang diusung adalah yang memihak semua warga. Sebab itu, diharapkan silaturahmi kedua parpol itu benar-benar dilakukan atas dasar kejujuran, jiwa besar, serta hasil refleksi yang mendalam.
Namun, harus diakui, harapan rakyat terkadang dihantui iklim pragmatisme politik berlebihan, yang berpengaruh negatif pada perilaku elite partai. Dalam praktik politik, terlalu kentara elite politik bermain dengan retorika muluk sekadar untuk mengejar kepentingan kekuasaan jangka pendek dan demi kejayaan kelompok. Kesan tak berhubungannya aspirasi rakyat dan wakilnya sangat dirasakan.
Inilah yang mendesak perlunya ideologi kebijakan yang memihak kepada masyarakat. Namun, keraguan masyarakat terhadap makna silaturahmi Golkar dan PDI-P lebih dalam lagi, dengan pernyataan beberapa petinggi partai itu bahwa acara itu terutama ditujukan untuk agenda memenangi pemilihan kepala daerah (pilkada). Alasannya sangat pragmatis, jika PDI-P dan Golkar bersatu, kemungkinan besar mereka dapat memenangi pilkada di banyak wilayah.
Semangat yang melandasinya sangat dangkal dan mudah ditebak ujung silaturahmi itu tak lebih dari awal proses merebut kekuasaan pada pemilihan presiden tahun 2009. Jika dugaan itu benar, silaturahmi hanya akan memperdalam keterpurukan kedua parpol karena semakin memicu pragmatisme politik, yang akan merusak nilai kebangsaan.
Ideologi dijadikan instrumen, bahkan disalahgunakan hanya untuk memperoleh kekuasaan. Harus diingat, rakyat tidak bodoh lagi. Ideologi kebangsaan yang pernah diusung dalam bentuk koalisi kebangsaan untuk menyukseskan pasangan Megawati Soekarnoputri-KH Hasyim Muzadi kalah telak oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Itu berarti, rakyat tak mau dikelabui oleh politisi dengan retorika muluk dan janji kosong.
Semoga dugaan itu tak benar dan silaturahmi Golkar-PDI-P adalah hasil kontemplasi mendalam elite partai dalam menghayati keprihatinan, kesengsaraan, dan kesabaran rakyat menunggu elite membuktikan keberpihakannya kepada mereka.
J Kristiadi Peneliti CSIS
Tuesday, June 26, 2007
ANALISIS POLITIK: Berharap dari Silaturahmi Golkar-PDI-P
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:15 AM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment