KOMPAS - Selasa, 26 Juni 2007
Ahmad Arif dan Hariadi Saptono
Tiga jam bermobil dari Kota Sukabumi menuju Dusun Pandan Arum, Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, ternyata membuat perut mulas. Aspal telah menghilang berganti batu atau lumpur. Jalan sempit itu naik-turun berkelokan, diapit tebing dan Sungai Cisalimar yang mengalir deras.
Tetapi, bagi sebagian orang Jakarta, pedesaan dengan jalan buruk dan "ndeso" itu dianggap eksotik. Buktinya, di jembatan bambu yang melintang di Sungai Cisalimar, satu keluarga terdiri dari tujuh orang dari Jakarta dengan berfoto-foto dan turun ke kali dengan ceria. Mobil Avanza berpelat-B, diparkir di pinggir kali. Waktu kami pulang melintasinya kembali beberapa jam kemudian, lagi-lagi satu keluarga dari Jakarta dengan dua anak mereka menggelar tikar dan makan nasi di dekat Nissan Terrano yang diparkir di situ.
Malah saat menuju sasaran, kami harus mendorong mobil KIA Sportage—yang terbenam lumpur di selokan—tumpangan laki-laki berwajah dan berlogat Jepang. Warga Dusun Pandan Arum, yang melintas, serta merta membantu. Orang desa berlepotan lumpur, mendorong dan menarik sebisanya.
"Hari Minggu ada saja orang kota lewat. Ada yang berekreasi, berburu babi hutan, atau mau beli tanah. Banyak tanah di sini yang sudah dibeli orang Jakarta," kata Adi Laksono, staf Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka), sebuah LSM yang dipimpin pasangan insinyur, Iskandar dan Tri Mumpuni. Adi sendiri, sejak 2004 bolak-balik ke Pandan Arum untuk transfer teknologi dan manajemen listrik desa.
Ibeka ibarat "dewa sosial" bagi warga Pandan Arum, yang bermukim di kaki Taman Nasional Gunung Halimun/Salak itu. Oktober 2004, Ibeka membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di sana—pekerjaan dan tanggung jawab yang harusnya dikerjakan negara. Pandan Arum lantas benderang dengan lampu listrik.
Kondisi yang lebih-kurang sama, sebelumnya telah dimulai oleh Ibeka di Desa Cinta Mekar, Kecamatan Segalaherang, Kabupaten Subang, Jawa Barat, April tahun itu. Pandan Arum dan Cinta Mekar keduanya merupakan desa terpencil, dan kategori tertinggal (IDT) pula.
Sungai Ciasem di Desa Cinta Mekar yang semula hanya mengaliri sawah diberi nilai tambah oleh Ibeka sebagai pembangkit generator listrik berkapasitas 120 kilowatt (kW). Daya listrik itu kemudian dijual kepada PT PLN. Maka, Cinta Mekar pun menjadi tonggak revolusi dari desa. Jika biasanya warga tergantung pada PLN, sejak itu desa mereka justru bisa menjual listrik ke negara melalui Koperasi Cinta Mekar yang dibentuk bersamaan dengan berputarnya generator listrik itu.
Setiap bulan, rata-rata PLTMH Cinta Mekar mendapat uang Rp 22 juta dari PLN. Setelah dipotong untuk tabungan biaya depresiasi dan membayar pada investor, koperasi desa itu dapat pemasukan bersih Rp 6 juta per bulan. Pemakai listrik di Cinta Mekar 200 keluarga, sedangkan di Pandan Arum 300 keluarga.
Listrik desa telah memacu gairah. Irigasi dan air minum ada, gorong-gorong diperbaiki, anak sekolah dapat beasiswa, usaha kecil bisa pinjam uang, sampai budidaya sayuran. Dua desa itu juga punya radio komunitas, sarana komunikasi, dan hiburan warga.
Namun, listrik juga memompa konsumerisme. Lomba membeli televisi, pemutar DVD, dispenser, kulkas, dan parabola pun terjadi. "Kalau punya uang, maunya beli parabola," kata Ahim (58), Kepala Dusun Pandan Arum, sekaligus Ketua Koperasi Cisalimar. Menurut Ahim, sudah dua KK memiliki kulkas, kalau dispenser hampir 30 persen warga punya.
Pengaruh turbin PLTMH begitu nyata, tetapi kedua desa juga merasakan, teknologi listrik itu tetap belum bisa menggerakkan sesuatu yang lebih dalam, yakni usaha yang produktif, dan keuntungan yang lebih besar. "Sebenarnya, ada bank yang mau meminjami untuk modal, tetapi saya takut berisiko," ujar Yuningsih, Sekretaris Koperasi Cinta Mekar.
Sama dengan Yuningsih, Ahim juga dikenal jujur dan rajin di dusunnya. Itu alasan orang desa memilih keduanya mengurus koperasi.
Namun, sinergi orang-orang baik ini tetap belum mampu mendongkrak kemiskinan warga. Desa Cinta Mekar tak juga mekar. Karena Yuningsih hanya memperoleh honor Rp 37.500/ bulan sebagai pengurus koperasi. Ahim dapat Rp 100.000/ bulan, dan pasokan listrik 100 watt. Iyan sopian, anak Yuningsih, yang menjadi operator listrik dapat honor Rp 750.000/bulan. Pandan Arum pun setali tiga uang, tak beranjak "harum" dalam ekonomi desa.
Kedua desa masih menyandang predikat sebagai daerah tertinggal. Di Pandan Arum, masih juga anak-anak perempuan selepas sekolah dasar merantau ke Jakarta sebagai pembantu rumah tangga.
Dengan sisa utang Rp 6 juta pada bank saat membiayai kWh, Koperasi Cinta Mekar cenderung sepenuhnya menunggu pembayaran listrik warga dan tidak berani berusaha apa pun di luar itu. Padahal, desa itu bisa membuat sendiri mesin hidran, pompa air otomatis seharga Rp 250.000-an, yang bisa ditawarkan ke desa-desa yang kekurangan air untuk air minum.
"Koperasi mau bikin keramba di sungai, tetapi kami takut kalau modal koperasi malah bangkrut," kata Ahim.
Kejujuran dan baik hati—dua hal yang sulit ditemui pada masa sekarang ini—ternyata belum cukup untuk "menyetrum" warga untuk menggairahkan produksi....
Tuesday, June 26, 2007
Membangun Desa: Listrik Belum Juga "Nyetrum" Koperasi
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:19 AM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment