Tuesday, June 26, 2007

Presiden Diminta Tegas pada Lapindo

KORAN TEMPO - Selasa, 26 Juni 2007

"Menangis tujuh ember pun percuma."

Jakarta - Ketua Panitia Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Emir Moeis mendesak agar status hukum kasus lumpur Lapindo diputuskan lebih dulu sebelum uang negara dikeluarkan untuk menanganinya. "Presiden harus lebih tegas pada Lapindo," katanya kemarin.
Emir membandingkan dengan kasus yang melibatkan PT Newmont Minahasa Raya, yang pernah dituduh mencemarkan Teluk Buyat, Sulawesi Utara. Menurut dia, kasus Newmont "yang lebih abu-abu saja" direktur utamanya, yang orang Amerika (Richard Ness), sempat masuk tahanan. "Kasus Lapindo kan lebih jelas, kenapa pengadilan tidak jalan?" ujarnya.
Ia menunjuk surat peringatan yang pernah dikeluarkan PT Medco E&P Brantas, salah satu investor Lapindo Brantas Inc., tentang adanya kesalahan teknis pengeboran karena dilakukan tanpa casing pengaman. Dari situ saja, kata anggota Fraksi Partai Demikrasi Indonesia Perjuangan ini, sudah jelas siapa yang menyebabkan bencana di Porong, Sidoarjo, itu terjadi.
Tanpa ketegasan, menurut Emir, pemerintah membuktikan diri tidak menerapkan perlakuan yang sama terhadap semua investor pertambangan. "Kenapa waktu menyangkut investor asing polisi begitu cepat memasukkan orang dalam tahanan, sedangkan begitu terkait orang yang berkuasa jadi begini?" katanya. "Pemerintah terlalu jelas menunjukkan ada yang busuk di sini. Dan itu membuat para investor lain yang mau masuk takut."
Tentang langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memutuskan turun langsung ke Sidoarjo dan berencana berkantor sementara di sana, Emir mengatakan hal itu baik sebagai upaya lebih dekat dengan masyarakat korban. Tapi, dia menegaskan, yang lebih penting adalah keputusan dan kebijakan lebih tegas.
"Tanpa ketegasan itu, menangis tujuh ember pun percuma," ucapnya, mengomentari berita tentang Presiden yang sampai menangis ketika mendengar pengaduan para korban lumpur di kediaman Yudhoyono di Puri Cikeas, Ahad malam lalu.
Komentar senada disampaikan anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR, Dradjad H. Wibowo. Dia mengatakan, tanpa kejelasan tentang siapa yang bertanggung jawab secara hukum atas kesalahan pengeboran, porsi pembagian beban antara Lapindo dan pemerintah seperti ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 akan selalu dipertanyakan. "Dari mana dasarnya?" katanya. "Kalau proses pengadilan berjalan dan memutuskan Lapindo bersalah, mungkin pemerintah tidak perlu menanggung."
Bertolak dari Jakarta pukul 14.00 WIB kemarin, Presiden semalam menginap di mes perwira di Pangkalan Udara Juanda, Surabaya. Selama di mes, Presiden mendengarkan pemaparan Gubernur Jawa Timur Imam Utomo, Bupati Sidoarjo Win Hendrarso, Kepala Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Soenarso, perwakilan Lapindo Brantas Inc., dan perwakilan korban Lapindo.
Menurut Kepala Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resor Sidoarjo Ajun Komisaris Andi Yudianto, pagi ini Presiden dijadwalkan akan mengunjungi korban lumpur di Porong dengan helikopter. Di kawasan sekitar lokasi semburan di Porong itulah Presiden rencananya akan menginap selama dua hari. "Tapi tempatnya belum ditentukan," ujarnya.
TOMI A ROHMAN TAUFIK SUTARTO


Sulitnya Dapat Ganti Rugi
Biarpun Presiden Bambang Susilo Yudhoyono meneteskan air mata mendengar derita korban lumpur panas Lapindo, pekerjaan mencairkan ganti rugi tetap saja rumit. Lapindo memberi aneka syarat tambahan untuk mencairkan ganti rugi. Mereka juga tak mau membayar tunai karena keputusan presiden membolehkan hal itu. Inilah kerumitan pencairan dana:
Warga ingin ganti rugi dibayar sekaligus, tapi Lapindo "berlindung" di balik keputusan presiden, yang menyatakan 20 persen dibayar tahun ini, 80 persen dalam dua tahun. Siapa yang salah?
Lapindo meminta peta kretek dan buku kerawangan dari desa atau kelurahan untuk tanah tanpa sertifikat.
Lapindo meminta dokumen pembelian tanah mereka ditandatangani kepala kepolisian resor dan kejaksaan negeri.
Tanah nonsertifikat belum satu pun dibayar ganti ruginya.
Lapindo meminta dokumen balik nama jika surat tanah tidak atas nama warga terkait.
Lapindo meminta sertifikat, meski ditahan bank karena mereka mengambil kredit saat membeli rumah di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera.
Baru 522 sertifikat milik 129 orang yang dibayar. Lainnya ada perbedaan KTP dengan sertifikat.
Lapindo hanya membayar pada ganti rugi pada Rabu dan Jumat, tidak setiap hari kerja, sehingga lamban.

"Mereka (para korban) mendapat uang yang jauh lebih besar daripada harta mereka sebelumnya?"Aburizal Bakrie, Menko Kesejahteraan Rakyat, yang juga anggota keluarga pemilik Lapindo Brantas Inc.

SUTARTO SUNUDYANTORO ROHMAN TAUFIQ

0 comments: