Monday, June 11, 2007

Jeritan Bingung Warga Sungai Nibung

REPUBLIKA - Senin, 11 Juni 2007

Lebih dari 10 tahun, Ngatiran (28 tahun), menempati lahan seluas satu hektare. Bersama istri dan seorang anaknya, ia bertani sekaligus bertahan mengolah lahan yang tadinya kosong itu menjadi kebun singkong dan sawit. Dari tanah itu, dia berharap hidupnya bisa berputar.Menetap di Blok 12 Dusun Kerawang, Desa Sungai Nibung, Kec
Gedongmeneng, Kab Tulangbawang, Lampung, sepertinya menjadi pilihan hidup Ngatiran, bersama belasan ribu kepala keluarga (KK) lainnya. Suasana damai dan kondusif di Desa Sungai Nibung selama itu, mulai terusik tatkala ada rencana PT Central Pertiwi Bahari (CPB), perusahaan tambak udang yang berlokasi di sana, untuk melakukan ekspansi lahannya di kawasan eks hutan lindung Register 47 seluas 1.200 hektare pada 2007.
Hampir enam bulan ini, warga Desa Sungai Nibung (berjarak sekitar 250 km dari ibukota Bandar Lampung), didatangi orang tak dikenal. Kadang mereka datang siang, tapi tak jarang datang di malam hari. Mereka mengetuk pintu rumah warga. Dulu, tutur warga, orang suruhan pihak perusahaan itu menggunakan aparat berseragam polisi. Sekarang, sepekan terakhir beralih 'menggandeng' preman.
''Ya, mereka membujuk dan kadang memaksa warga supaya menjual lahannya ke perusahaan,'' kata Ngatiran, pekan lalu. Ia mengaku sampai kapan pun, dirinya tidak akan melepaskan lahannya yang saat ini berisi singkong dan kelapa sawit tersebut. Menurut Ngatiran, pihak perusahaan mau mengganti lahan warga yang mau dilepas seharga Rp 2,25 juta per hektare. ''Harga ini sangat tidak wajar,'' ungkap dia. Apalagi, selepas dibayar, kata dia, 150 KK warga dusun itu belum jelas mau diungsikan ke mana. ''Kini ratusan warga masih bertahan tidak mau menjual lahannya. Karena nasibnya tidak jelas setelah lahannya dijual,'' ujar dia.
Bentuk intimidasi dari orang tak dikenal tersebut semakin meresahkan warga. Ketenangan hidup yang selama ini dirasakan warga seolah musnah. Jerit ratusan warga meminta perlindungan kepada gubernur dan ketua DPRD Lampung pada aksi unjuk rasa 12 Maret dan 29 Mei lalu, belum juga membuahkan hasil. Warga cuma minta perlindungan atas upaya intimidasi dan pemaksaan agar warga melepas lahan pertaniannya kepada pihak PT CPB.
Wakil Direktur PT CPB (grup PT Central Proteinaprima/CP Prima), Taufik Slamet, ketika dikonfirmasi, membantah saat melakukan ekspansi lahan di Desa Sungai Nibung seluas 1.200 hektare, pihaknya mengerahkan aparat polisi maupun preman untuk mengintimidasi warga. ''Tidak mungkin, kami menggunakan cara-cara itu. Tidak ada intimidasi terhadap warga,'' kata Taufik singkat.
Sebelumnya, pertemuan perwakilan warga Sungai Nibung dipimpin Suyono dengan Ketua DPRD Lampung, Indra Karyadi, dan anggota Komisi B Khamamik, menyebutkan lahan yang akan diekspansi PT CPB itu adalah lahan yang bertahun-tahun digarap warga. Sejak 1997-1998, saat krisis terjadi hingga sekarang, warga menanam padi, singkong, sawit, dan ada yang mengusahakan tambak tradisional.
Pada pertemuan itu, Suyono menyatakan warga dipaksa meninggalkan lokasi dan diberi uang 'tali asih'. Menurut dia, PT CPB tidak perlu melakukan intimidasi maupun pemaksaan kehendak kepada warga dalam melakukan perluasan usaha. Upaya PT CPB melakukan kekerasan dan perusakan lahan warga, kata dia, sudah keterlaluan.
Sekarang ini, menurut penuturan warga, sejumlah lahan warga yang berhasil dibujuk, sudah dikeruk untuk membuat kanal-kanal dan tambak-tambak udang. Kondisi ini, rupanya menyulitkan warga beraktivitas keluar dusun dan desanya, karena wilayahnya sudah dikelilingi parit-parit lebar. ''Anak-anak yang jalan kaki saja, sulit ke sekolah,'' tutur Ngatiran. Syahri, perwakilan warga Dusun Kerawang lainnya, juga menuturkan upaya pemaksaan dari PT CPB agar warga mau mengungsi ke tempat lain, terus berlangsung hingga kini.
Asisten I Setdaprov Lampung, Irham Djafar Lanputra, pernah menyatakan di hadapan perwakilan warga yang mengadu ke gubernur, ketika PT CPB mendapat hak guna usaha dari Pemkab Lampung Utara pada 1996. Pada 1994, PT CPB mendapat HGU dengan memanfaatkan lahan eks hutan lindung Register 47 seluas 17.500 hektare.
Ketika Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berkuasa, dia menyarankan warga memanfaatkan tanah lahan kosong yang tidak terpakai untuk digarap. Lahan sisa PT CPB seluas 8.356,20 hektare yang tak bertuan, banyak didiami warga, baik dari dalam maupun luar Lampung. Sekarang, di lahan itu sudah terdapat sekitar 5.000 keluarga.
Kepala Desa Sungai Nibung, Wayan Warse, membenarkan adanya sekitar 5.000 keluarga yang mendiami lahan eks hutan lindung Register 47 yang sebelumnya milik PT CPB, statusnya tumpang sari. ''Warga yang menggarap lahan tersebut sifatnya tumpang sari, bukan hak milik,'' kata Wayan Warse. Ia menyatakan tidak ada bentuk intimidasi maupun tindak kekerasan dari PT CPB maupun aparat lain. Menurutnya, warga yang melepaskan dan menjual lahannya dengan imbalan 'tali asih' seharga Rp 2,250 juta per hektare dilakukan dengan sukarela.
Selaku kepala desa, ujar dia, dirinya tidak berhak menyuruh ataupun melarang warga melepaskan lahannya. ''Silakan kalau ada warga yang dengan sukarela mau melepaskan lahannya,'' ujar dia. Wayan mengklaim, saat ini tinggal 22 keluarga dari 500 keluarga di lahan 1.200 ha yang mau diekspansi PT CPB. Semunaya sudah mendapat 'tali asih' secara sukarela. ''Jadi, wajar kalau lahan warga yang sudah sukarela mendapat ganti rugi, kemudian dikeruk perusahaan. Saya yang lebih tahu wilayah sini,'' kata dia menegaskan.
Menyinggung masih adanya intimidasi terhadap warga yang tetap bertahan tidak mau melepas lahannya, ia mengatakan hal tersebut hanya dibuat-buat pihak tertentu untuk menarik keuntungan kelompok kecil. ''Mereka (warga), sudah diprovokasi pihak tertentu,'' ujar Wayan. mur

0 comments: