Monday, June 11, 2007

Simfoni kebijakan sektor riil

BISNIS - Senin, 11/06/2007

Perekonomian Indonesia sebenarnya hampir memiliki segalanya. Semua potensi untuk bergeraknya sektor riil sudah dimiliki negeri ini sekarang. Jumlah penduduk yang lebih dari 230 juta jiwa merupakan pasar yang sangat besar, ditambah dengan kekayaan produk primer, letak geografi yang strategis bagi lintas niaga, dan hubungan luar negeri yang bagus merupakan daya pikat yang luar biasa menggiurkan bagi penanam modal. Di satu sisi, belakangan ini terjadi pergerakan arus modal internasional yang begitu besar dan cepat melimpah ke berbagai negara. Sayangnya, yang masuk ke Indonesia sebagian besar hanya mengisi lubang-lubang investasi portofolio di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan surat utang negara (SUN). Di sisi lain, besarnya dana masyarakat yang dihimpun perbankan dalam negeri umumnya masih telanjur nyaman di SBI, sehingga pola investasi seperti ini tidak memicu cepatnya kebangkitan sektor riil yang menjadi andalan pengurangan pengangguran dan kemiskinan yang ditetapkan sebagai kepentingan nasional dalam pembangunan ekonomi.Fenomena lain yang menunjukkan masih rendahnya kegairahan sektor riil adalah prospek bisnis yang masih suram, sehingga pelaku usaha hanya bisa geram. Ini terlihat dari besarnya persetujuan kredit yang tidak ditarik (undisbursed loan).Menurut pernyataan Gubernur Bank Indonesia beberapa waktu lalu, kredit yang tidak tertarik itu mencapai Rp197 triliun pada Januari 2007. Angka ini meningkat 25,17% dibandingkan dengan Januari 2006 yang hanya Rp143 triliun. Ini menunjukkan informasi yang tidak simetris antara sektor perbankan dan sektor riil. Lalu pertumbuhan investasi pada 2006 juga hanya 2,91%. Angka ini jauh dibandingkan dengan pertumbuhan investasi 2005 yang mencapai 10,8%. Paket komprehensifMengapa investasi langsung ke sektor riil belum begitu menarik? Padahal, berbagai rangkaian kebijakan pembenahan iklim usaha telah dikeluarkan pemerintah secara paket ataupun tunggal. Sebut saja kebijakan sektor keuangan, perbankan, infrastruktur, investasi sampai dengan program intervensi, seperti revitalisasi pertanian, perikanan, kehutanan, program energi altrenatif, dan sebagainya. Yang belum muncul memang kebijakan yang komprehensif, holistik, dan terintegratif untuk memberdayakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Padahal, UMKM merupakan skala usaha yang lebih dari 90% dilakukan dalam kegiatan ekonomi masyarakat dan paling besar mengkontribusi penanggulangan pengangguran, sebab dapat dilakukan semua masyarakat. Namun, masalah-masalah klasik, seperti pembiayaan, SDM, teknologi dan kreasi inovatif, dan peluang pasar belum terselesaikan secara tuntas. Akibatnya, banyak kebijakan dan anggaran yang besar untuk membiayai program UMKM yang tersebar di berbagai instansi menjadi paradoks dengan kondisi pengangguran.Selain itu, berbagai instrumen pengamanan pasar dalam dan luar negeri dari gangguan persaingan (safety net) telah tersedia, seperti ketentuan antidumping, antisubsidi, antipenyelundupan, antipemalsuan, antimonopoli, antipelarian pasar, jaminan pasar bagi produksi dalam negeri untuk pembelian pemerintah, dan seterusnya.Bisa jadi kurangnya sosialisasi, termasuk kemasan promosi kebijakan, menjadi titik lemah daya tarik investasi. Tetapi nyaringnya keluhan dunia usaha lebih tertuju pada kelemahan pengambilan keputusan publik di berbagai tingkat, konsistensi, dan efektivitas implementasi kebijakan.Jangan gangguTidak mudah memang membuat kebijakan yang follow through, artinya sinkron dan konsisten antara kebijakan dan pelaksanaan secara tuntas, sehingga tidak missing in action. Sebab, dengan paradigma baru, yaitu globalisasi, demokratisasi, dan dinamika otonomi daerah, kebijakan ekonomi harus diterapkan sangat hati-hati, karena implikasinya sangat rentan terhadap kondisi yang masih rentan (fragile) untuk gejolak sosial politik. Apalagi tidak banyak pemangku kepentingan yang memahami partitur kepentingan nasional tadi, yang sebenarnya sudah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Nasional. Rancangan itu sebaiknya dijadikan acuan dalam perilaku kebijakan dan program masing-masing guna menghasilkan simfoni kebijakan ekonomi yang harmoni. Ibarat musik jazz, jika para pemain sangat berkompeten dalam memainkan alat musiknya, maka yang dibutuhkan adalah koordinator pemberi ritme, bukan komando lapangan. Dalam persaingan global, pelaku usaha harus leluasa bergerak dan bebas berkreasi dalam persaingan merebut pasar, jangan mereka dipersempit dengan regulasi dan dibebani birokrasi. "Kalau tidak bisa bantu, jangan ganggu," kata Menneg BUMN Sofyan A. Djalil dalam serah terima jabatan beberapa waktu lalu. Jadi, urgensi pengeluaran kebijakan diprioritaskan pada kebutuhan yang sangat mendesak, dan berimplikasi positif secara luas, terutama kebijakan di sektor riil yang komprehensif, terintegratif, dan implementatif.
Oleh Edy Putra Irawady
Deputi Menko Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan

0 comments: