Monday, June 11, 2007

Penghapusan subsidi BBM dikaji; Premium bisa terserah pasar

BISNIS - Senin, 11/06/2007

BOGOR: Demi mengurangi subsidi BBM, yang pada tahun anggaran 2007 mencapai Rp 61,83 triliun-lebih rendah daripada usulan pemerintah, sebesar Rp 68,5 triliun-harga premium mungkin diserahkan ke mekanisme pasar. Kajian tentang kemungkinan itu tengah dilakukan BPH Migas.Harga pasar premium real octan number (RON) 88, dinilai sudah tidak berbeda jauh dengan harga pasar, yang berada pada kisaran Rp5.000 per liter. "Harga premium RON 88 tidak jauh beda dengan harga di pasaran," kata Kepala BPH Migas Tubagus Haryono di sela-sela sosialisasi tugas badan itu di Bogor, akhir pekan lalu.Karena itu, dia mengakui BPH Migas tengah mengkaji hal tersebut. "Ya, BPH Migas tengah mengkaji melepas harga premium ke mekanisme pasar guna mengurangi subsidi BBM." Bos Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) itu-yang oleh pemerintah ditetapkan sebagai koordinator tim pengawasan dan penyediaan BBM-memberi contoh India yang telah melepas harga BBM premium sesuai harga pasar.Anggota Pokja BBM BPH Migas Dedy Wijaya juga mengungkapkan hal yang sama. "Ada kemungkinan penghapusan subsidi premium."Namun, menurut Deddy, penghapusan subsidi minyak tanah belum bisa dilakukan, karena kebutuhan untuk bahan kabar itu masih banyak. "Kalaupun bisa, setelah 2010-2011."Deddy memberi ancar-ancar waktu harga premium dilepas ke mekanisme pasar. "Penghapusan subsidi itu bisa dilakukan setelah 2009." Tubagus mengatakan sejauh ini rendahnya daya beli masyarakat menyulitkan penghapusan subsidi untuk premium. "Kalau harga bensin Rp5.000 per liter, masyarakat akan teriak. Sebab kemampuan beli kita masih rendah. Kalau dilepas sesuai harga pasar, efeknya akan berantai." Namun, jika pelepasan harga tersebut akhirnya dilakukan, maka harga premium akan disesuaikan dengan permintaan dan penawaran yang ada, "Sehingga di sini ada mekanisme suply and demand. Cuma butuh political will," tuturnya. Sementara itu, Ketua Komisi VII DPR Agusman Effendi mendukung rencana pengkajian pencabutan subsidi itu. "Langkah itu bisa mengurangi pengeluaran belanja pemerintah." Namun, menurut anggota Fraksi Partai Golkar itu, pemerintah harus mengkaji dengan akurat. Anggota Komisi VII DPR Ade Daud Nasution mengemukakan kajian harus dilakukan secara benar. "Hal itu untuk melihat kondisi masyarakat, sehingga kebijakan itu menyentuh masalah yang sebenarnya," tutur anggota Fraksi Bintang Reformasi. Vice President Government and Media Relations Total E&P Indonesia Ananda Idris mendukung jika ada kebijakan yang mendorong terjadinya mekanisme pasar. Regulasi SPBUDeddy menjelaskan penghapusan subsidi premium juga akan memudahkan swasta membuka usaha SPBU tanpa harus memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan BPH Migas. Pemerintah kabarnya tengah menyusun regulasi pendirian SPBU menyusul semakin jenuhnya SPBU yang ada di Jawa a.l. mensyaratkan pelaku usaha yang memiliki SPBU di Jawa untuk membuka di luar Jawa.Sejauh ini, menurut Deddy, kalangan swasta yang membuka usaha SPBU diwajibkan mengikuti ketentuan BPH Migas, karena menjual BBM bersubsidi. "Dengan dihapuskannya subsidi, badan usaha yang ingin mendirikan SPBU akan lebih mudah, tanpa harus memenuhi ketentuan BPH Migas."Jenuhnya pasar SPBU lebih berhubungan de-ngan penyaluran BBM bersubsidi. Jika subsidi BBM dihapus, BPH Migas tidak akan membuat regulasi yang mengatur keberadaan SPBU di suatu wilayah.Masalahnya sekarang masih ada BBM PSO (public service obligation). "Kalau nanti sudah nggak ada, silakan mereka bersaing. Kalau mau berdekatan juga dipersilakan." (01) (bisnis@redaksi.co.id)Bisnis Indonesia

0 comments: