Wednesday, June 27, 2007

Galungan: Ketika Bambu Penjor Kian Jauh

KOMPAS - Rabu, 27 Juni 2007

FRANS SARONG
Ketut Jogbag (62), Selasa (26/6) siang, larut dengan kesibukan khususnya. Meski usianya sudah tergolong senja, kedua tangannya tetap lincah bergerak, membalutkan lembaran janur pada batang bambu yang melengkung.
"Hari ini adalah hari penampahan," ujar ayah lima anak dan lima cucu itu ketika ditemui di kediamannya di Jalan Letda Kajeng, Banjar Yang Batu Kangin, Denpasar, Bali. Hari penampahan adalah hari gembira bagi umat Hindu menyongsong perayaan Galungan hari Rabu ini. Penampahan ditandai pembunuhan sejumlah hewan untuk lawar dan sesajen. Juga kesempatan terakhir pemancangan penjor. "Karena itu, saya segera merampungkan hiasan ini," ujarnya.
Kegiatan Ketut Jogbag sebenarnya hanya satu contoh dari kesibukan serupa yang dilakukan ribuan keluarga di Bali. Maklum saja, Bali yang kini berpenduduk 3,4 juta jiwa, lebih dari 90 persen di antaranya adalah pemeluk Hindu.
Seperti disaksikan, sebagian keluarga Hindu di Bali sudah merampungkan hiasan penjornya dan memancangkannya di sekitar pintu pagar rumah, sejak Senin lalu. Namun, sebagian lainnya, termasuk Ketut Jogbag, memanfaatkan kesempatan terakhir, Selasa, memancangkan penjornya. "Keluarga saya memilih pemancangan penjor hari ini agar hiasannya terlihat masih segar pada perayaan Galungan," tutur pensiunan polisi yang kini menjadi pengemudi mobil bak terbuka itu.
Galungan pada intinya adalah perayaan kemenangan dharma (perbuatan baik) atas adharma (perbuatan jahat). Merujuk buku Seri Sejarah Mitologi Hari Raya Galungan dan Kuningan (disusun oleh RSI Bintang Dhanu Manik Mas dan IN Djono Gingsir, 2005), galungan berasal dari kata gal dan lungan. Kata gal berasal dari kata penggal atau panggul, sedangkan lungan berarti patah atau patahan.
Hari raya Galungan sesuai mitologinya adalah perayaan kematian seorang raja yang dikenal kejam dan bengis bernama Ki Maya Dewana dalam sebuah pertempuran sengit melawan Dewa Wisnu dan Dewa Indra. Kedua dewa terakhir dikenal sakti dan bijaksana.
Bahan baku utama penjor adalah sebatang bambu yang lingkar bagian pangkalnya lebih kurang sebesar lengan orang dewasa, dan bagian ujungnya melengkung. Hiasannya terdiri atas rangkaian daun janur muda.
Sejak lama hiasan penjor biasanya dirangkai sendiri anggota keluarga, sebagaimana dilakukan Ketut Jogbag. Belakangan tak sedikit keluarga di Bali merasa tak perlu lagi meramu sendiri penjornya. Penjor siap pancang sudah banyak terjual di tepi jalan. Nyoman Sarma (58), warga Nusa Indah, Denpasar, salah satu contoh pengusaha khusus penjor.
Ia bersama karyawannya sejak Senin lalu sibuk melayani permintaan pembeli penjor untuk wilayah Denpasar dan sekitarnya. Pada hari-hari biasa, dari perusahaan milik Nyoman Sarma terjual 4-10 penjor per minggu. "Menyongsong Galungan kali ini, penjor kami lakunya lumayan. Selama dua hari sejak Senin lalu sudah 90 penjor terjual," ujar Nyoman Sarma.
Dari percakapan dengan Ketut Jogbag dan Nyoman Sarma diperoleh keterangan, janur yang merupakan salah satu bahan baku utama hiasan dalam upacara di Bali, sejak lama harus didatangkan dari Jawa, Lombok atau pulau lainnya. Sebaliknya, bambu khusus sebagai bahan baku utama penjor hingga sekarang masih dipasok dari Bali, tetapi jumlahnya kian menyusut.
Ketut Jogbag mengatakan, bambu khusus itu hingga 10 tahun lalu bisa didapat langsung dari kawasan kota itu. Ini karena kawasan sekitar daerah aliran sungai atau daerah curam lainnya di Denpasar masih dipadati rumpun bambu. Namun, karena keserakahan manusia, kawasan itu terus saja digerogoti, diuruk hingga rata jalan, dan dalam waktu sekejap berubah jadi kawasan yang dipenuhi bangunan.
Warga pun kian sulit mendapatkan bambu penjor berharga murah apalagi cuma-cuma. Bambu penjor berubah jadi barang dagangan yang harga jualnya kian mahal karena didatangkan dari kabupaten lain di Bali.

0 comments: