Monday, May 28, 2007

Asosiasi Televisi Akan Lobi Komisi Penyiaran

KORAN TEMPO - Senin, 28 Mei 2007

Asosiasi Televisi Swasta Indonesia berencana mengajak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) membicarakan masalah content siaran, terutama soal pembatasan tayangan mistik dan pornografi.

JAKARTA -- Asosiasi Televisi Swasta Indonesia berencana mengajak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) membicarakan masalah content siaran, terutama soal pembatasan tayangan mistik dan pornografi. Menurut ketua asosiasi itu, Karni Ilyas, pembicaraan harus dilakukan untuk menghindari kesalahan lama soal peraturan penyiaran. Peraturan penyiaran, ia berpendapat, mestinya diatur dalam undang-undang, bukan oleh KPI."Tak usah gugat-gugatan sampai ke Mahkamah Agung untuk soal content siaran. Lebih baik kami bertemu dengan KPI," kata Direktur Pemberitaan ANTV itu ketika dihubungi di Jakarta, Sabtu pekan lalu. Karni mengungkapkan asosiasinya setuju terhadap pembatasan tayangan mistik dan pornografi sebagai salah satu standar etika penyiaran.Mahkamah Agung mengabulkan permohonan uji materi Surat Keputusan KPI Nomor 009/SK/KPI/8/2004 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran oleh Asosiasi Televisi. Maka, KPI harus mencabut surat itu, yang antara lain mengatur pembatasan tayangan mistik dan pornografi.Asosiasi Televisi menggugat, antara lain, karena aturan itu mengatur sanksi, yang sebenarnya sudah ditentukan dalam Undang-Undang Penyiaran.KPI ternyata telah mencabut aturan tersebut dengan menerbitkan Peraturan Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran. Aturan yang terbit pada 5 Agustus 2006 itu mengadopsi materi surat keputusan yang dipersoalkan oleh Asosiasi Televisi.Namun, Karni menganggap peraturan baru itu hanya akal-akalan karena cuma berganti nomor tanpa mengubah substansi aturan sebelumnya. "Nanti digugat lagi, ganti nomor lagi. Tak akan selesai sampai kiamat."Pemilik rumah produksi Samuan, Yahdi Jamhur, mendukung keputusan KPI. Alasannya, tayangan mistik dan pornografi sering dikemas dengan content yang mengada-ada. "Membodohkan pemirsanya," katanya di Jakarta kemarin.Ia berpendapat dua jenis program itu tak bisa disebut kebebasan berekspresi karena kebebasan tersebut tak bisa dilakukan secara mutlak. Apalagi penayangan itu hanya mementingkan keuntungan materi.
RADEN RACHMADI MUSLIMA HAPSARI WAHYUDIN FAHMI

0 comments: