Monday, May 28, 2007

Pemerintah belum punya strategi jitu soal minyak sawit

BISNIS - Senin, 28/05/2007

"Sangat melelahkan. Rapat [minyak goreng] dua hari sekali. Yang lain juga butuh perhatian. Harus ada kebijakan yang lebih mengikat. Lebih jangka panjang. Lebih antisipatif," ungkap salah seorang pejabat sambil mengisap rokoknya dalam-dalam seusai evaluasi program stabilisasi harga (PSH) minyak goreng di Lapangan Banteng pekan lalu. Berbeda dengan PSH bahan makanan pokok yang lain seperti beras dan gula, stabilisasi harga minyak goreng lebih njelimet dan mungkin lebih melelahkan? bagi pengambil kebijakan di negeri ini.Pada PSH komoditas lain, perhatian bisa langsung difokuskan pada penurunan harga. PSH minyak goreng tidak.? Perhatian PSH produk turunan dari minyak sawit mentah (CPO) mesti bercabang satu untuk stabilisasi harga itu sendiri, penggodokan komitmen sanksi, dan yang lain diarahkan ke permintaan perlindungan dari pengusaha dalam bentuk payung hukum. Payung hukumnya seperti apa?? Sebagian besar pengusaha, baik yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dan Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni) maupun Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (Aimmi), menyatakan payung hukum harus dikeluarkan Kementerian Perekonomian.Alasannya sederhana, pengusaha meminta satu produk hukum sebagai pengakuan atas komitmen,? meminjam istilah keren yang sering digunakan dalam penjelasan, corporate social responsibility.Payung hukum itu diharapkan menghindarkan pengusaha dari kesulitan di masa datang a.l. karena menjual produk pada harga lebih murah dari yang semestinya di pasar atau perlindungan dari beban pajak? atas barang yang diikutkan dalam PSH.Relatif banyak kekhawatiran yang mesti dilindungi maka pengusaha meminta payung hukum dari Menko Perekonomian Boediono.??? Masalahnya wewenang kebijakan tidak di tangan menko perekonomian. Wewenang itu tersebar di Departemen Perindustrian, Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan, Kementerian BUMN, dan Departemen Keuangan.Akhirnya payung hukum menko perekonomian 'katanya' dalam bentuk acknowledgment letter mungkin bisa di Indonesiakan sebagai surat pengetahuan.? Bahwa pemerintah bersaksi, mengetahui komitmen pengusaha melakukan tugas mulia yaitu bersedia mengurangi potensi keuntungan agar harga minyak goreng di tangan konsumen bisa bergerak pada kisaran Rp6.500-Rp6.800 per kg.Barangkali tanpa diminta surat dari menteri ekonomi yang lain bisa muncul toh program stabilisasi harga merupakan hajat pemerintah.?? Kemudian, pengusaha yang tergabung dalam tiga organisasi itu menyatakan komitmen melakukan PSH dengan total minyak goreng 150.000 ton. Bahkan ditambah dengan kesediaan menerima sanksi peningkatan pungutan ekspor CPO jika per 1 Juni bila harga minyak goreng tidak juga turun ke level yang disepakati.Beberapa pejabat kemudian buka suara sebenarnya surat pengetahuan dari Depperin dikeluarkan 2 Mei dan surat dari Depdag ke Menneg BUMN Sofyan Djalil tentang permintaan pengerahan lima BUMN ikut PSH pada 4 Mei.? Produk DirjenKedua surat itu keluar sebelum penerbitan surat pengetahuan menko perekonomian.? Jika surat dari Depperin sudah berbentuk pengetahuan dari menteri perindustrian maka surat dari Depdag masih produk Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Ardiansyah Parman.? Namun, dia menyatakan surat dirjen itu bisa dinaikkan status menjadi surat Mendag apabila diperlukan.Adalah anggota Komisi VI DPR Irmadi Lubis, salah satu yang pertama kali, melemparkan pendapat kebijakan yang lebih mengikat.?? Akhirnya pemerintah menyadari pelaksanaan PSH diserahkan ke pengusaha menjadi mission impossible.? Selain produsen CPO dan minyak goreng tidak berpengalaman melakukan OP-karena semestinya menjadi tugas pemerintah-komitmen pasokan pun dipertanyakan.? Padahal pernyataan resmi yang muncul, OP tidak lagi dibatasi waktu meski tetap mengincar 1 Juni sebagai patokan waktu evaluasi.?? Pernyataan perpanjangan PSH itu lebih bersifat menenangkan pasar. Kalau dihitung jumlah CPO dan minyak goreng yang mesti disiapkan PSH tanpa batas waktu, rasanya sulit meminta komitmen. Karena komitmen pasok satu bulan saja sulit direalisasikan oleh produsen CPO nasional.Untuk membantu pencapaian target penurunan harga minyak goreng, meski sempat yakin dengan proses PSH, Depdag akhirnya turun tangan.? Ditjen Perdagangan Dalam Negeri, pekan lalu, kembali menggerakkan jalur distribusi dengan OP langsung ke pasar.? Namun, penurunan harga akan lebih efektif jika seluruh jalur dimanfaatkan sejak awal.? Pekan lalu, arah kebijakan? makin jelas yaitu kewajiban mencukupi pasar domestik (domestic market obligation).? Untuk tahap awal, kebijakan itu akan diatur dengan sejenis surat keputusan dari Menteri Pertanian Anton Apriyantono.? Kemungkinan ketentuan yang lebih baku masih akan dilanjutkan dalam rapat pekan ini.Deptan seolah mengingatkan kita mempunyai UU No. 18/2004 tentang Perkebunan yang mengikat dan mewajibkan produsen mencukupi kebutuhan domestik.? Namun, pemerintah lupa, bahwa untuk menerapkan DMO ini diperlukan kebijakan dan pengawasan lintas departemen. Tidak cukup dengan UU-nya yang dimiliki Deptan, tanpa peraturan pelaksanaan di bawahnya.? Karena setelah kewajiban menyalurkan CPO pengusaha lepas, maka tanggungjawab berikutnya di Depperin (memonitor pengolahan minyak goreng di prosesor). Tanggungjawab berikutnya di pundak Depdag mengenai distribusi di pasar dan pemantauan harga minyak goreng dan CPO. Belum lagi Depkeu,? bahkan Kementerian BUMN 'juragannya' sembilan PTPN yang memiliki kebun sawit.Sekali lagi seandainya payung itu sudah disiapkan sebelum hujan terjadi. Tapi sepertinya pemerintah tidak atau belum siap dengan dengan kebijakan jangka pendek, menengah dan panjang untuk industri persawitan. Karena kebijakan yang diluncurkan setiap kali selesai rapat terkesan masih sebatas wacana semata.Padahal, Pemerintah Malaysia sudah mempunyai kebijakan yang lebih konkret. Pemerintah negara itu mulai Juni menerapkan Cess (pungutan tertentu) atas tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. Cess itu akan dikumpulkan dan digunakan untuk membiayai subsidi? minyak goreng. Ketentuan Cess berdasarkan harga CPO internasional. Semisal harga CPO di kisaran RM1.500-RM1.600 per ton maka terkena pungutan RM2 per ton TBS. Begitu pula selanjutnya, setiap kali harga naik? RM100 per ton berikutnya maka Cess-nya naik RM2. Apabila harga CPO sekarang RM2.400 maka terkena? pungutan RM18 per ton. Pungutan ini dibebankan kepada pengusaha bukan petani. Setiap pengusaha yang memiliki kebun di atas 40 hektare maka terkena Cess dan pemerintah menetapkan harga minyak gorengnya, sehingga prosesor dan pedagang tidak boleh menjual di atas harga yang sudah ditentukan.Ironisnya, pungutan seperti ini tidak bisa dilakukan karena Indonesia tidak memiliki data kebun dan produksinya.

0 comments: