Friday, May 25, 2007

Efek Mematikan Fitnah Sektarian

REPUBLIKA - Jumat, 25 Mei 2007

Pada 8-15 Mei 2007, tim kecil utusan Pemerintah Indonesia mengunjungi Lebanon, Yordania, dan Suriah. Tim itu bertugas menyosialisasikan Deklarasi Bogor yang merupakan hasil pertemuan ulama Suni-Syiah di Bogor 3-4 April 2007. Wartawan Republika, Irfan Junaidi melaporkan perjalanan tersebut dalam tiga tulisan. Berikut bagian keduanya.

Suasana terasa mengharukan ketika Ketua Persatuan Ulama Irak, Abdul Latif Almahyin, berpidato dalam pembukaan konferensi tahunan ulama Irak yang digelar di Damaskus, Suriah, 13-14 Mei 2007. Para peserta larut dalam keharuan. Sebagian besar mereka yang memadati Masjid Abou Nour, Kaftaro Islamic Foundation itu terlihat menitikkan air mata.
''Kami hidup di negeri yang pedang lebih berharga dibanding kitab (buku),'' tutur dia membuka pidatonya dengan penuh semangat. Menurut dia, warga Irak tidak boleh mundur sejengkal pun dalam melawan penjajah. Irak digolongkannya sebagai salah satu tempat yang dimuliakan Allah SWT setelah Makkah, Madinah, dan Al Aqsha.
Sebuah tekad kuat untuk berdamai di Irak kemudian dikemukakannya dalam forum tersebut. Saat ini, kata dia, para ulama Irak telah sepakat membuka dialog demi perdamaian Irak. ''Orang Irak akan menentang keras permintaan AS agar kami terus terpecah,'' ungkap dia. Abdul Latif menyadari betul perpecahan di Irak sebenarnya terjadi atas provokasi AS.
Provokasi itu memang terlihat nyata. Lihatlah niat jahat AS memecah belah warga Irak dengan membangun tembok tinggi dengan panjang sembilan km di Azamiyah yang berpenduduk mayoritas Suni. Kota ini memang dikelilingi wilayah yang mayoritas berpenduduk Syiah. Namun, pembangunan tembok pemisah itu jelas akan membuat warga Suni dan Syiah menjadi terpisah seperti penduduk Jerman Barat dan Jerman Timur saat tembok Berlin masih berdiri kokoh.
Wacana soal provokasi ini juga dikemukakan Mufti Suriah, Syeikh Dr Ahmad Badrouddin Hassoun. Di forum yang sama dia mengungkapkan selama beribu-ribu tahun warga Suni dan Syiah di Irak bisa hidup berdampingan. Mereka kemudian berperang begitu ada kekuatan asing masuk. Kekuatan asing yang dimaksudkannya itu tidak lain adalah AS dan sekutunya.
Syeikh Hassoun mengaku amat sedih saat melihat provokasi itu berhasil membuat umat Islam di Irak saling membunuh di antara mereka sendiri. ''Yang membuat saya menangis adalah saat melihat umat Islam membunuh umat Islam yang lain,'' ujar dia. Syeikh Hassoun juga menyayangkan kesediaan beberapa negara di Arab memberi fasilitas bagi AS untuk menjajah Irak.
Isu sektarian menjadi tema hangat yang dibahas para peserta konferensi yang bertema 'Irak Bersatu Menghadapi Penjajahan dan Keragaman' itu. Hampir semua ulama yang memberi pidato pembukaan acara tersebut meyakini krisis sektarian membuat kekuatan AS menjadi lebih mudah menjalankan agenda buruknya di Irak. Karena itu, mereka semua menyeru agar fitnah yang melahirkan konflik sektarian segera ditangkal.
Mufti Irak, Rafi Rifa'i menyeru seluruh tokoh Islam di dunia untuk membantu mendekatkan kembali hubungan Suni dan Syiah yang kerap terlibat konflik. ''Saya atas nama mufti Irak meminta seluruh bagian umat Islam tidak sewenang-wenang mengeluarkan fatwa yang bisa memecah masyarakat Irak,'' tutur dia menyeru.
Ulama dari Lebanon, Abdun Nasir Jabri, yang ikut membuka konferensi tersebut punya tiga langkah menutup peluang munculnya fitnah yang mengadu domba kelompok Suni dengan Syiah. Pertama dia meminta agar para ulama Syiah segera mengeluarkan fatwa yang melarang pengikut Syiah menghujat para sahabat Rasulullah SAW. Kedua, semua pihak harus menyadari syahidnya Husein bin Ali menjadi kesedihan bagi seluruh umat Islam. Langkah ketiga, meniupkan semangat yang sama di kalangan ulama Suni maupun Syiah untuk menggalang persatuan umat Islam.
Setelah dua hari berkonferensi, para ulama Irak membuat kesepakatan bersama yang juga menitikberatkan pentingnya menghapus fitnah sektarian. Di antara butir kesepakatan bersama itu mengungkapkan seluruh komponen masyarakat Irak harus berdialog dengan tujuan menciptakan perdamaian di Irak. Para ulama juga sepakat krisis sektarian telah merusak sendi-sendi persatuan masyarakat Irak.
Karena itu, fitnah sektarian harus segera dicegah supaya tidak terus-menerus menghancurkan warga Irak. Kehormatan rakyat Irak juga harus ditegakkan berdasar syariat Islam tanpa memandang perbedaan mazhab.
Tak ketinggalan, para ulama peserta konferensi juga sepakat penjajahan AS atas Irak sama sekali tidak bisa dibenarkan dan harus dikutuk. Menurut mereka, perlawanan terhadap penjajah adalah hak legal yang dijamin agama serta semua peraturan internasional di segala zaman. Untuk mengakhiri penjajahannya, para ulama pun meminta agar AS segera menetapkan jadwal penarikan pasukannya dari Irak.
Satu poin kesepakatan bersama para ulama itu terkait dengan peran Indonesia. Mereka sepakat menerima deklarasi yang dihasilkan konferensi para ulama untuk rekonsiliasi Irak yang berlangsung di Bogor 3-4 April. Bisa jadi, butir ini muncul karena dalam konferensi tersebut memang tim kecil tindak lanjut konferensi Bogor berkesempatan membacakan hasil-hasil kesepakatan ulama dalam konferensi Bogor.

0 comments: