Friday, May 25, 2007

Kekerasan: Bobotku Tinggal 25 Kilogram…

KOMPAS - Jumat, 25 Mei 2007

M CLARA WRESTI

Bekerja di Jakarta adalah tujuan hidup Rumini (20). Sudah dua kali dia bekerja di Jakarta, dan dia bisa membelikan orangtuanya satu set pesawat televisi 14 inci berikut alat pemutar cakram video.
Ketika mendapat tawaran lagi untuk bekerja di Jakarta, dia menyambut. Kali ini Rumini ingin menambal rumah orangtuanya yang bocor.

Namun, keinginan memperbaiki rumah orangtuanya itu kini tinggal impian. Rumini harus menjalani serangkaian pengobatan karena bobot tubuhnya tinggal 25 kilogram. Semula tubuh Rumini gemuk, beratnya 55 kilogram.
Setelah bekerja di Jakarta selama tujuh bulan sebagai pembantu rumah tangga, sekarang tubuh Rumini hanya seperti tulang dibungkus kulit. Jangankan berdiri, untuk duduk minum obat pun Rumini sudah tidak mampu lagi. Tubuhnya tergolek di ruang isolasi Rumah Sakit Polri Sukanto, Kramat Jati, Jakarta Timur, dengan infus tertancap di tangan kanannya.
Rumini adalah korban kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan majikannya, Hendarsih Erni Wijaya Sunarsih (41). Rumini tidak sendirian. Temannya, Irma (16), juga menjadi korban penyiksaan hingga akhirnya tewas setelah dipukul dan diseret oleh Erni, Selasa (22/5) siang.
Menurut penuturan Rumini, penyiksaan terhadap dirinya dimulai sejak enam bulan lalu. "Bulan pertama kerja, Bu Erni baik-baik saja. Gaji saya sebesar Rp 300.000 juga dibayarkan, tetapi langsung ditransfer ke Bapak saya di Magetan. Tetapi, sejak masuk bulan kedua hingga sekarang, setiap hari saya pasti disiksa. Gaji saya pun tidak pernah dibayar lagi," tutur warga Desa Gangging RT 02/01, Sidomulyo, Plaosan, Magetan, Jawa Timur, ini.
Rumini menceritakan, selama bekerja di rumah pasangan Erni dan Boyke di Jalan Taman Sari V/16 Perumahan Jatinegara Baru, Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur, dia tidak pernah diperbolehkan keluar rumah. Jika mencuci mobil di carport, Rumini dan Irma hanya boleh melakukan pada pukul 03.00 agar tidak bertemu dengan tetangga karena rumah-rumah di perumahan itu bertipe tanpa pagar.
"Kalau ibu pergi mengantar anak sekolah, kami dikunci di dalam. Kami disuruh kerja, tetapi hanya diberi makan sedikit," tuturnya lirih.
Soal makan, bisa dipastikan Rumini dan Irma sangat kekurangan. Tubuh Rumini sangat kurus. Ketika dia menyingkapkan bajunya, tulang iganya sangat menonjol, sedangkan perutnya kecil membentuk sebuah cekungan yang dalam. Kakinya hanya berbentuk tulang kurus dan menonjol di bagian lutut.
"Setiap hari saya dan Irma hanya diberi makan nasi sekepal dengan kuah sayur. Pak Boyke beberapa kali memberikan kami makan secara sembunyi-sembunyi. Tetapi, kalau ketahuan Bu Erni, mereka bertengkar. Dan besok giliran kami yang dimarahi lagi," ungkap Rumini.
Kekerasan yang berakhir dengan kematian Irma ini berawal dari kepergoknya Irma mengambil uang milik Erni. Belum jelas jumlah pastinya, tetapi menurut Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta Timur Komisaris Dahana, jumlahnya tidak sampai Rp 100.000. Agaknya, Irma sudah merencanakan diri untuk kabur karena uang ini disembunyikan di kantong celana panjang dan dijahit dengan rapi. Irma merasa uang ini merupakan haknya karena dia tidak pernah menerima gaji.
Mengetahui uangnya diambil, Erni mengamuk. "Saya tidak melihat bagaimana Bu Erni memarahi Irma di lantai atas. Saya hanya mendengar suara gedebak-gedebuk. Lalu tiba-tiba Irma jatuh dari tangga. Dari hidungnya keluar cairan berwarna merah muda," tutur Rumini.
Setelah itu, Irma diseret dan ditarik rambutnya ke kamar mandi. Di depan kamar mandi, Irma disemprot dan diinjak, tetapi ia tidak bergerak.
"Ibu juga menyuruh Irma bangun dan bilang, kalau Irma tidak segera bangun, dia akan dilaporkan ke polisi," kisahnya.
Ternyata, Irma tetap tidak bergerak. Melihat tidak ada reaksi dari Irma, Erni mengambil botol minyak sereh dan mengoleskan ke dahi dan hidung Irma. "Ibu juga sempat memasukkan pil warna oranye ke mulut Irma, tetapi malah dari mulut Irma keluar busa," kata Rumini.
Tidak lama kemudian, Boyke datang dari kantor dan terkejut melihat kondisi Irma. Mereka lalu membawa Irma ke RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, sedangkan Rumini dan keempat anaknya ditinggal di dalam rumah dalam keadaan terkunci. Di rumah sakit, Irma diketahui telah meninggal dunia.
Dibawanya Irma ke rumah sakit ini membongkar kekerasan yang dilakukan Erni. Kekerasan ini bukan yang pertama kali dia lakukan. Erni bahkan pernah ditahan di Rutan Pondok Bambu karena menganiaya dua pembantunya pada Januari 2006. Ketika itu, Eni dan Eti, pembantunya yang berasal dari Lampung, disiksa karena mencuri mi instan dan meminum susu milik Erni. Eni dan Eti disiram air panas dan tubuhnya disetrika.
Erni pun digiring polisi dan kasusnya disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur dengan nomor perkara 660/Pid.B/ 2006. Ketika itu Erni dituntut jaksa penuntut umum Nilmawati hukuman penjara enam bulan. Pada 2 Mei 2006, Erni divonis hakim Alfred, Ewid, dan Mansyurdin dengan hukuman penjara empat bulan potong masa tahanan. Hasilnya, Erni hanya mendekam tidak sampai dua bulan di rumah tahanan.
Vonis ini sangat ringan mengingat hukuman yang tertera dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 351 dan 352 untuk penganiayaan berat paling lama lima tahun. Untuk penganiayaan yang dilakukan terhadap orang yang bekerja di bawahnya atau bawahannya, harus ditambahkan sepertiganya.
Kali ini agaknya Erni harus menghadapi ancaman hukuman yang lebih berat, yakni maksimal tujuh tahun penjara karena menyebabkan kematian.
Kepala Polres Metro Jakarta Timur Komisaris Besar Robinson Manurung yang didampingi Dahana menjelaskan, dari hasil pemeriksaan, Erni telah ditetapkan sebagai tersangka. "Dia kami kenai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga. Ancaman hukumannya minimal lima tahun," ungkap Manurung.
Mengenai alat bukti, hingga kini polisi masih terus mengumpulkan benda-benda yang digunakan untuk menganiaya kedua pembantu itu. Rumah Erni kini terkunci dan tampak sepi. Keempat anak pelaku kini diungsikan ke rumah kerabatnya.

1 comments:

Anonymous said...

The writer of rsugengutomo.blogspot.com has written a superior article. I got your point and there is nothing to argue about. It is like the following universal truth that you can not disagree with: No man can ever know both what a woman is thinking, and how she will act on this, at the same time. (apologies to Heisenberg) I will be back.