KOMPAS - Jumat, 25 Mei 2007
Jakarta, Kompas - Badan Musyawarah Dewan Perwakilan Rakyat menyepakati memanggil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 5 Juni 2007. Pemanggilan itu guna menjawab hak interpelasi tentang persetujuan Pemerintah Republik Indonesia atas Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa No 1747 yang berisi perluasan sanksi terhadap Iran.
Keputusan tersebut diambil dalam Rapat Bamus yang berlangsung tertutup di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (24/5). Rapat dipimpin Wakil Ketua DPR Zaenal Ma’arif dan dihadiri semua fraksi.
Menurut Zaenal, semula fraksi-fraksi menghendaki pelaksanaannya dipercepat, yaitu dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa 29 Mei 2007, sedangkan pimpinan menawarkan dua opsi, yaitu 5 Juni atau 12 Juni. "Akhirnya disepakati 5 Juni karena tanggal 29 Mei dianggap tidak realistik," ujar Zaenal.
Rencanakan "walk out"
Sementara itu, para inisiator interpelasi tetap berharap Presiden hadir langsung. "Mewakilkan jawaban interpelasi akan mengesankan rasa tidak percaya diri, ketidakberanian berdialog dengan DPR, serta dapat dipandang melepas tanggung jawab," ucap Yuddy Chrisnandi dari Fraksi Partai Golkar.
Apabila Presiden tidak hadir dan mewakilkan kepada menteri, para interpelator pun telah menyusun strategi untuk bereaksi. "Sebagian besar pengusul akan bereaksi jika Presiden tidak hadir," kata Aria Bima dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP).
Reaksi tersebut bentuknya seperti apa, Bima belum bisa memastikan. "Kami bisa walk out, keluar sidang," ucapnya. Setelah aksi walk out dilakukan, para interpelator pun akan menyusun sejumlah reaksi berikutnya.
Menurut Bima, memang tidak ada keharusan Presiden hadir. Namun, secara logika politik dan tata krama politik, mayoritas pengusul menginginkan Presiden hadir.
Interpelasi kali ini pun terkait dengan sesuatu yang mendasar, yaitu kebijakan politik luar negeri bebas aktif dan mewujudkan perdamaian dunia yang diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945. "Persetujuan pemerintah pada Resolusi 1747 ini dinilai tidak adil terhadap Iran dan menyimpang dari asas tersebut," ujar Bima.
Pemerintah juga selayaknya hadir karena penjelasan Menteri Luar Negeri di Komisi I DPR dalam rapat beberapa pekan lalu yang dimulai pukul 19.00 dan berakhir pukul 01.00 sudah terbukti tidak memuaskan Komisi I DPR. "Kalau Menko yang hadir juga keberatan karena ini terkait dengan persoalan mendasar tadi," katanya.
Alot
Dalam Rapat Badan Musyawarah kemarin, soal bisa tidaknya jawaban Presiden diwakilkan kepada menterinya dibahas sangat alot.
F-PDIP, Fraksi Partai Amanat Nasional, dan Fraksi Kebangkitan Bangsa mendesak pimpinan DPR agar meminta Presiden untuk hadir sendiri di paripurna dan hal itu dicantumkan secara eksplisit dalam surat undangan kepada Presiden.
Sementara itu, Fraksi Partai Demokrat meminta hal tersebut tidak dicantumkan. Alasannya, dalam peraturan Tata Tertib DPR, kata-kata Presiden harus hadir sendiri menjawab interpelasi tidak tercantum.
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dalam rapat berpendapat, paling tidak yang mewakili Presiden adalah Wakil Presiden, bukan menteri. Namun, usulan ini pun ditolak Fraksi Partai Demokrat. Argumennya, yang tertera dalam Tata Tertib DPR yang bisa mewakilkan Presiden menjawab interpelasi hanyalah menteri.
Karena ada perbedaan pendapat ini, akhirnya disepakati dalam surat undangan kepada Presiden dicantumkan secara normatif pasal terkait dalam Tata Tertib DPR.
Presiden bisa redam
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Bivitri Susanti menyarankan Presiden Yudhoyono hadir langsung untuk menjawab interpelasi. Dia menilai gerakan interpelasi ini lebih pada gerakan politik untuk menggoyang Presiden ketimbang substansi interpelasi itu sendiri.
Baginya, interpelasi Iran ini bukan persoalan mendasar karena tidak bersentuhan langsung dengan masalah yang dihadapi langsung masyarakat. "Saya yakin Presiden punya argumen kuat dan mampu meredam. Jadi lebih baik datang," ucapnya.
Apabila Presiden tidak datang, malah akan dijadikan alat bagi pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik untuk terus memainkan isu ini guna menggoyang Presiden.
Secara normatif, interpelasi pun merupakan hak DPR untuk bertanya kepada Presiden. "Jadi, kalau diwakilkan ke menteri, tidak tepat. Saya yakin interpelasi ini juga akan selesai di belakang," ucapnya. (sut)
Friday, May 25, 2007
Interpelasi Iran: DPR Minta Presiden Hadir pada 5 Juni 2007
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:42 AM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment