Friday, May 25, 2007

BAHASA: Duren

KOMPAS - Jumat, 25 Mei 2007

Jos Daniel Parera

Sebagian besar orang Indonesia bagian barat mengenal duren dan menyukai buah duren. Pada musim duren tampak banyak ibu yang muda-muda mencicipi duren di pinggir jalan. Sekarang duren malah dapat diperoleh di pasar swalayan yang besar. Ada duren aceh, ada duren bangkok. Akan tetapi, duren yang satu ini tidak dijual di pinggir jalan, di pasar-pasar tradisional, atau di pasar swalayan. Duren apa itu?

Duren ini sangat digemari ibu-ibu dan malah oleh para remaja putri. Nah, ini dia duren alias duda keren. Makin banyak terjadi perceraian para artis muda, makin bertambah pula duren yang satu ini. Duren asli berbau kurang enak, tetapi isinya sedap. Duren tidak asli alias manusia pasti berbau harum penuh wewangian dan isi kantongnya sudah pasti tebal (mudah-mudahan begitu). Akan tetapi, terdapat duren tiga yang bukan duren berbiji tiga, melainkan duda keren tiga anak.
Dari segi bahasa, orang Indonesia cenderung menyenangi kata berdua suku. Di samping duren, terdapat kata jablai (jarang dibelai), pede (percaya diri), curhat (mencurahkan isi hati), dan tentu saja masih banyak lagi. Mudah diingat, gampang diucapkan, dan enak didengar.
Nama koran dan majalah yang berdua suku lebih digemari: Kompas, Tempo, Matra, Kalam, Basis, Nova, dan Gadis. Nama koran dan majalah yang lebih dari satu kata akan dikenal dengan satu kata yang berdua suku: Media (Indonesia), Sinar (Harapan), Sindo dari Seputar Indonesia. Rasanya orang Indonesia kurang sreg mengucapkan yang panjang-panjang: Pembaruan, Republika, Suara Karya, atau Berita Yudha. Kata informasi dijadikan info, demonstrasi dijadikan demo, selebritis dijadikan seleb. Kecenderungan ini tentu memerlukan penelitian apakah konstatasi saya ini berterima.
Nama presiden pun lebih disukai yang berdua suku: Bung Karno, Pak Harto, Pak Beje (BJ Habibie), Gus Dur, dan Ibu Mega. Nama presiden SBY agak canggung dieja karena kepanjangan, malah nama wapres lebih dikenal dengan nama Pak Jusuf atau Pak Kalla. Nama ketua DPR RI pun lebih disenangi yang berdua suku: Pak Akbar (Tandjung) dan Pak Agung (Laksono) daripada Pak Harmoko.
Nama orang, nama tempat, nama apa saja yang berdua suku akan lebih laku bagi penutur bahasa Indonesia. Singkatan dan akronim yang disukai pun cenderung berdua suku. Oleh karena itu, calon pemimpin Indonesia harus bersiap-siap dengan nama yang berdua suku. Itulah ciri khas bahasa Indonesia, yakni bahasa dengan kosakata dasar alias Naturname (kata orang Jerman) berdua suku. Termasuk duren tadi. Jadi, kembali ke alam.
Jos Daniel Parera Munsyi

0 comments: