Monday, May 21, 2007

Menyoal angka PDB

Senin, 21/05/2007

Pekan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan PDB Indonesia untuk kuartal I/2007. Pertumbuhan ekonomi secara riil mencapai 6%, mendekati proyeksi pemerintah pada APBN 2007, sedikit lebih tinggi dari prediksi Bank Indonesia. Sebagaimana biasanya, angka semacam ini menimbulkan pro-kontra. Sebagian kalangan menyatakan angka PDB itu tidak memiliki dasar pertumbuhan yang kuat, sementara ada pihak yang menyatakan skeptis dengan angka yang dianggap terlalu tinggi itu. Angka PDB tersebut juga menarik dilihat dari sisi yang lain.
Majalah Economist dalam laporan khususnya akhir 2006 memprediksi perekonomian Indonesia akan menghasilkan PDB sebesar US$396 miliar sepanjang 2007. Dengan angka ini, majalah itu menempatkan Indonesia di urutan perekonomian nomor 21 dunia, persis di bawah Taiwan yang diprediksi menghasilkan PDB sebesar US$398 miliar. Dengan PDB berdasarkan harga yang berlaku pada kuartal I/2007 sebesar Rp915 triliun, maka angka tersebut dalam nilai tukar pasar diterjemahkan menjadi lebih dari US$100 miliar, yaitu jika melihat pergerakan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah sepanjang kuartal pertama. Ini berarti pencapaian PDB di atas US$400 miliar pada 2007 bukan lagi sesuatu yang mustahil dengan catatan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah tidak berbeda jauh dari kisaran Rp9.000. Kalau ini yang terjadi, maka pada 2007 inipun Indonesia bakal merangsek ke atas lagi dan akan melampaui Taiwan menjadi kekuatan ekonomi nomor 20 di dunia.Riilkah PDB ini? Statistik PDB Indonesia secara periodik dilakukan peninjauan kembali mengingat berbagai perubahan yang terjadi secara mendasar pada periode sebelumnya. Karena itu, kita mengenal PDB tahun dasar 1993 yang kemudian diganti menjadi tahun dasar 2000 saat akhir pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Setiap kali terjadi perubahan tahun dasar, BPS selalu melakukan revisi ke atas perhitungan PDB yang ada. Revisi tersebut kadang cukup signifikan, sehingga sebagaimana terjadi pada perubahan tahun dasar 2000, pertumbuhan ekonomi sebelumnya kemudian juga direvisi ke atas. Ini berarti angka PDB tersebut bukan hanya riil, tetapi bahkan selalu terjadi keadaan riil yang di atas pelaporan statistiknya (under reported). Pengalaman ini menjawab keraguan banyak pihak bahwa BPS melakukan langkah kosmetik untuk "menyenangkan" pemerintah dengan melaporkan angka PDB melebihi yang seharusnya. Pengalaman terjadinya 'under-reportation' itu tampaknya terjadi lagi secara agak mencolok dalam beberapa tahun terakhir ini. Dalam hal ini, berbeda dengan revisi pada 2000 yang lebih banyak memasukkan sektor informal ke dalam perhitungan PDB, maka pelaporan yang lebih rendah kali ini justru terjadi di sektor yang sebagian besar adalah formal. Dalam hal ini, landasan yang saya pergunakan untuk menandai terjadinya pelaporan yang lebih rendah itu dilakukan hanya dengan membandingkan statistik PDB dengan statistik ekspor. Data PDB diperoleh dari survei BPS, sedangkan data ekspor jauh lebih kuat lagi, karena dikumpulkan dari transaksi langsung dengan menggunakan dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang ada di Ditjen? Bea dan Cukai. Kedua data itu bisa diperoleh dalam Statistik Ekonomi Keuangan Bank Indonesia.Titik tolak dari penelitian yang saya lakukan itu sebetulnya berasal dari keingintahuan mengenai 'boom' yang terjadi di sektor perkebunan. Pembangunan perkebunan secara besar-besaran, terutama untuk kelapa sawit, di Sumatra dan Kalimantan yang banyak dibiayai perbankan akhirnya telah menghasilkan produksi yang meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir ini. Namun, perkembangan tersebut ditangkap statistik PDB dan ekspor secara sangat berbeda. Kontribusi sektor perkebunan dalam PDB beberapa tahun tarakhir ini menunjukkan peningkatan, namun dalam level yang cukup rendah. Atas dasar harga yang berlaku, PDB sektor perkebunan pada 2004, 2005, dan 2006 adalah Rp50,3 triliun, Rp56,4 triliun, dan Rp62,6 triliun. Artinya, pertumbuhan secara nominal dari sektor tersebut berkisar sedikit di atas 10%. Secara riil, pertumbuhan sektor tersebut jika diukur dengan PDB harga konstan tahun dasar 2000 hanya sekitar 3% per tahun selama dua tahun terakhir ini.Sementara itu, nilai ekspor hasil perkebunan menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan. Pada 2004, ekspor hasil perkebunan mencapai? US$7.829 juta. Angka ini hanya berdasarkan penjumlahan produk yang berada di bawah SITC No. 07 (kopi, teh, cokelat, dan rempah-rempah), No. 12 (tembakau dan olahan tembakau), 23 (karet mentah, sintetis, dan pugaran), dan 42 (minyak dan lemak nabati). Pada 2005, angka ekspor itu meningkat menjadi US$8.900 juta, kemudian naik lagi tahun lalu menjadi US$12.414 juta. Produk tersebut meskipun melalui proses pengolahan, nilai tambahnya sebagian terbesar ada di sektor perkebunan. Saya bahkan meyakini bahwa BPS pun tidak mungkin melakukan pemisahan secara akurat bagian-bagian nilai tambah produk tersebut pada berbagai sektor ekonomi.Dengan membandingkan kedua angka tersebut, hasil ekspor perkebunan dalam rupiah (dengan asumsi nilai tukar yang dipergunakan adalah angka akhir tahun), maka pada 2004 ekspor perkebunan adalah Rp72,7 triliun. Pada 2005, angka tersebut meningkat menjadi Rp87,5 triliun, sedangkan tahun lalu hasilnya sebesar Rp112 triliun. Pada 2005, angka tersebut menunjukkan peningkatan sebesar 20,3%, sedangkan tahun lalu naik 28%. Peningkatan tersebut jauh melampaui pertumbuhan PDB sektor perkebunan di atas.Sebagaimana diketahui, sebagian dari hasil perkebunan itu? diekspor, sedangkan sebagian lagi dikonsumsi di dalam negeri. Pada 2005, sebanyak 11,2 juta ton CPO diekspor sedangkan yang 4 juta ton dikonsumsi sendiri.? Jika rasio ini yang dipergunakan, maka produksi perkebunan berdasarkan hasil ekspor tersebut mencapai Rp98,6 triliun pada 2004. Angka ini meningkat menjadi Rp118,75 triliun pada 2005. Tahun lalu, angka ini melejit menjadi Rp152 triliun. Dengan perkembangan tersebut, kita melihat bahwa sektor perkebunan dalam perhitungan PDB memiliki kemungkinan yang sangat besar terjadinya 'under reported'. Angka PDB yang sebetulnya bukan tidak mungkin dua kali lipat dibandingkan dengan yang tertera dalam statistik PDB yang ada. Makin lebarLebih mencengangkan lagi, perbedaan angka tersebut makin lama makin lebar. Jika pada 2004 perbedaannya sebesar Rp48,3 triliun, maka angka tersebut meningkat menjadi Rp52,3 triliun pada 2005, dan naik lagi menjadi Rp90 triliun tahun lalu.? Perhitungan semacam ini, sudah tentu, harus diverifikasi lagi. Namun, saya meyakini bahwa perhitungan itu memiliki dasar yang kuat untuk dipergunakan sebagai titik tolak pendekatan bagi langkah revisi angka PDB. Perhitungan semacam ini juga perlu dilakukan pada PDB pertambangan nonmigas (yang juga understated) maupun di sektor lainnya. Jika ini semua dilakukan, saya percaya bahwa PDB Indonesia pada 2006 secara nominal tidak sebesar Rp3.338 triliun lagi, tetapi bisa lebih dari Rp3.500 triliun. Semoga hal ini dapat dilihat BPS untuk perbaikan ke depan.
Oleh Cyrillus Harinowo

0 comments: