Monday, May 21, 2007

transportasi: Mereka Hidup dari Keganasan Riam Mahakam

KOMPAS - 21052007

Ambrosius Harto
Nyali menciut menyaksikan Riam Udang di hulu Sungai Mahakam, Kecamatan Long Bagun, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, pertengahan Mei lalu. Air mengalir deras membentur bebatuan, membentuk pusaran lebar dan gulungan-gulungan ombak setinggi 1 meter.

"Astaga. Mati deh," seorang penumpang berteriak spontan ketika perahu cepat yang kami tumpangi melaju kencang menembus jeram ganas itu. Perahu bergoyang ke kiri dan kanan. Tubuh terempas ke lantai perahu. Pakaian basah kuyup terciprat air.
"Pegangan. Jangan sampai jatuh," kata Agus (21), si juru mesin, berteriak dari belakang.
Terlambat. Seorang penumpang yang menggenggam kamera video tercebur. Beruntung, Agus cepat meraih kaki si penumpang dan selamatlah dia.
Adegan mendebarkan itu tak sampai semenit. Ucapan syukur dan sorak-sorai pun berhamburan dari para penumpang.
Felix, si juru mudi atau motoris perahu, benar-benar andal. Ia berhasil melintasi Riam Udang dengan selamat. Namun, itu baru satu. Masih ada belasan jeram berbahaya lain di sungai terpanjang di Kaltim itu.
Sebaran riam memang berada di hulu Mahakam, terletak di tiga kecamatan, yaitu Long Bagun, Long Pahangai, dan Long Apari. Yang terakhir berbatasan dengan Kalimantan Barat dan Sarawak, Malaysia. Long Bagun dapat dijangkau dengan berperahu selama 36 jam dari Samarinda, ibu kota Kaltim.
Berbahaya
Karena banyak riam, hanya perahu panjang dengan mesin bertenaga besar yang mampu menyusuri sungai. Setiap perahu minimal memiliki dua mesin yang masing-masing berkekuatan 200 PK (daya kuda).
Perahu-perahu itu juga harus dikemudikan oleh motoris yang andal jika tidak ingin karam diempas jeram. Kebanyakan motoris berasal dari Kampung Long Apari di titik paling hulu sungai yang panjangnya sekitar 980 kilometer itu.
Karena riam pula, pasokan bahan makanan, barang kelontong, dan bahan bakar minyak untuk warga Long Pahangai dan Long Apari hanya bisa dibawa oleh perahu besar sampai ke Long Bagun. Semua barang kemudian diangkut dengan perahu-perahu panjang. Perahu kayu sepanjang 5 meter itu juga menjadi sarana transportasi penumpang asal Long Pahangai dan Long Apari.
Perjalanan menghulu Mahakam sangat berbahaya karena perahu harus melawan arus deras dan menerjang puluhan jeram. Ketika musim hujan, arus sangat kuat dan jeram menjadi lebih besar dan berbahaya.
Ketika kemarau, bebatuan tersembul di permukaan air dan bisa menghancurkan perahu kalau tertabrak. Oleh sebab itu, terkadang suatu perjalanan ditunda sampai sungai agak jinak.
Jika perjalanan tak bisa ditunda, ada cara lain melewati bagian berbahaya itu, yakni dengan menurunkan barang dan penumpang di tepi sungai. Dengan bobot yang ringan tanpa beban, perahu dapat lincah dibawa menantang jeram.
Penumpang dan barang yang dibawa menyusur tepi sungai kemudian kembali menaiki perahu yang sudah lolos dari jeram. Cara itu berulang dilakukan dalam satu perjalanan.
Karena risiko yang tinggi, cerita-cerita seram tentang keganasan riam-riam Mahakam bertebaran. Riam Udang, misalnya, pernah meminta nyawa satu orang asing. "Juga pernah bikin perahu saya karam," kata Hasran (38), pemilik perahu cepat, mengenang kejadian lima tahun lalu.
Waktu itu dia selamat, tetapi barang-barang yang hendak dijual hanyut.
Keganasan riam tidak selamanya membuat nyali ciut. "Saya sudah terbiasa karena lima tahun jadi motoris," kata Felix (36), kelahiran Long Apari.
Laki-laki Dayak Penehing itu kerap disewa para pemilik perahu panjang. Keselamatan nyawa penumpang dan keutuhan barang kerap dibebankan kepada bapak dua anak itu.
Satu-satunya
Saat ditemui Kompas, Felix disewa oleh Hasran untuk membawa beberapa penumpang ke Long Pahangai. Untuk pekerjaan berbahaya dan dengan tanggung jawab besar itu, Felix dibayar Rp 500.000 sekali jalan.
Hasran juga mempekerjakan juru mesin bernama Agus. Laki-laki muda itu jauh merantau dari Sulawesi Selatan untuk menjadi juru mesin perahu-perahu panjang pelahap riam Mahakam.
Keselamatan penumpang berada di tangan ketiga orang itu. Hasran ibarat penunjuk arah. Felix bertugas mengemudikan perahu menghindari keham dan pusaran. Di belakang, selain memerhatikan mesin agar tidak mati, Agus juga bertugas mengingatkan penumpang untuk tetap waspada.
Ongkos transportasi ke hulu memang mahal. Perahu yang dikemudikan Felix itu, misalnya, disewa Rp 8 juta sekali jalan. Pemilik perahu kemudian mengatur semua. Honor motoris Rp 500.000, juru mesin Rp 250.000, ditambah 400 liter bensin dan 20 liter oli Rp 3,84 juta. Singkat kata, total biaya Rp 4,59 juta.
Jika diisi maksimal 20 penumpang, tarif setiap orang Rp 350.000 sampai Long Pahangai dan Rp 600.000 sampai Tiong Ohang, ibu kota Kecamatan Long Apari.
"Kami berangkat kalau penumpang minimal 10 orang," kata Hasran. Dengan asumsi masing-masing tujuan diisi lima penumpang, pendapatan kotor Hasran Rp 4,75 juta. Total biaya Rp 4,59 juta sehingga pendapatan bersih Rp 160.000.
Penghasilan itu tidak bisa didapat setiap hari. Perjalanan menuju Long Pahangai ditempuh sekitar empat jam. Mencapai Long Apari tambah dua jam lagi. Artinya, tidak setiap hari perahu bisa beroperasi bolak-balik....

0 comments: