REPUBLIKA - Rabu, 13 Juni 2007
Tak ada yang terlihat istimewa dari rumah bercat putih yang terletak di Desa Parungserab, Kec Soreang, Kab Bandung, itu. Tapi, jika memasuki rumah tersebut, Anda akan mulai tahu apa yang istimewa dari rumah tersebut. Anda pun akan kaget jika mendengar nama rumah itu, yakni sekretariat KPK Paber. Kepanjangan KPK di sini bukanlah Komisi Pemberantasan Korupsi, melainkan Kelompok Pelaksana Kegiatan Parungserab Bersih (Paber).
Di dalam rumah tersebut terlihat tumpukan sampah, yang tidak terlalu tinggi. Beberapa orang terlihat sibuk memilah-milah bagian-bagian sampah. Sampah organik dipisahkan dari sampah-sampah plastik, dan sampah yang berupa kaleng dan barang-barang pecah belah. ''Sebenarnya, mengolah sampah itu mudah. Asal, sampah tidak dibiarkan menumpuk lebih dari satu hari,'' kata Asep Iskandar, ketua KPK Paber. Jika lebih dari satu hari dibiarkan menumpuk, ujar Cecep (panggilan Asep Iskandar), sampah tersebut akan sulit diolah. Hal ini yang kerap menjadi persoalan di berbagai kota besar, termasuk Jakarta dan Bandung,
Sampah memang kerap dianggap sebagai sesuatu yang menjijikkan, bau, dan tak berharga. Masyarakat pun enggan untuk mendekatinya. Persepsi seperti itu tentang sampah, menjadikan masyarakat tak lagi peduli dengan sampah. Masyarakat hanya tahu, sampah harus dibuang. Yang lebih memprihatinkan, kebanyakan warga masih senang membuang sampahnya secara sembarangan.
Tapi, kondisi seperti itu tidak berlaku bagi warga Desa Parungserab. Bagi masyarakat Parungserab, sampah adalah barang yang bisa membawa keuntungan. Mereka pun bisa mengelola sampahnya tanpa harus bergantung pada pemda. Apalagi, pelayanan pemerintah dinilai tidak optimal. Pengangkutan sampah kerap terlambat, sehingga mendatangkan ribuan lalat. Untuk itu, masyarakat Parungserab melakukan pengolahan sampah secara mandiri.
''Kami sudah melakukan itu. Minimal, sampah tidak pernah lagi menjadi persoalan di Desa Parungserab,'' ungkap Cecep. Menurut dia, seluruh sampah rumah tangga yang berada di Desa Parungserab, setiap harinya habis diolah oleh KPK Paber. Selain itu, masyarakat di Parungserab tidak pernah dipungut biaya retribusi sampah oleh KPK Paber.
Menurut Cecep, biaya operasional mengolah sampah tidak diambil dari masyarakat. Biaya-biaya seperti untuk pembelian bahan bakar, gaji pegawai, serta pembelian bahan kimia untuk proses pengolahan sampah, diperoleh dari selisih penjualan hasil pengolahan sampah yang berupa pupuk kompos dan benang plastik.
Untuk mengubah sampah menjadi barang yang ekonomis, kata dia, pertama-tama sampah diangkut dari berbagai tempat sampah milik warga yang berada di Desa Parungserab. Sampah itu kemudian dipilah-pilah. Sampah organik dipisahkan dari sampah anorganik. Sampah anorganik masih bisa dipilah, antara sampah plastik dan sampah yang berasal dari kaleng serta barang pecah belah.
Menurut Cecep, sampah yang berasal dari kaleng dan barang pecah belah dikumpulkan untuk dijual ke tukang rongsokan. Sedangkan sampah plastik, seperti kantong plastik, botol plastik, diolah menjadi benang-benang plastik. Harga jual benang plastik Rp 800 per kg. Sedangkan sampah organik, menurut dia, diolah menjadi pupuk kompos. Untuk mengolahnya, KPK Paber memiliki alat pengolah yang berasal dari bantuan pemerintah pusat.
Hasil olahan sampah organik tersebut, kemudian ditaburi bahan-bahan kimia untuk mempercepat pembusukan. Selanjutnya, sampah yang telah diolah tersebut disaring supaya sampah yang tidak terolah dengan baik bisa terpisah. Cecep mengungkapkan harga pupuk kompos buatannya terbilang murah dibanding pupuk kompos lain yang sudah terkenal. Harga pupuk kompos dari Parungserab hanya dijual Rp 400 per kg. Sedangkan pupuk kompos dari daerah lain, sudah mencapai Rp 700 per kg. Tapi, tanpa putus asa, Cecep mengaku, harga tersebut merupakan harga promosi. Cecep berharap, harga pupuk kompos hasil olahan KPK Paber bisa sesuai dengan harga pupuk kompos di pasaran.
Saat ini, pupuk kompos buatan KPK Paber sudah dipakai di lahan pertanian percontohan di Kec Ciparay, Kab Bandung. Dia tidak bersedia menjelaskan secara rinci pendapatan kelompoknya dari pengolahan sampah secara mandiri itu. Yang jelas, hasil kerja kelompoknya telah membuat warga di desanya tak lagi pusing dengan urusan sampah.
Untuk menaikkan keuntungannya dari mengolah sampah, dia pernah meminta agar sampah yang menumpuk di Pasar Soreang bisa diangkut ke 'kantornya' secara gratis. Dia yakin, tawaran tersebut membuat para pengelola Pasar Soreang tak perlu lagi sibuk berurusan dengan masalah sampah. Namun, keinginan tersebut tak berhasil diwujudkannya. Dia tidak diizinkan mengangkut sampah di kawasan tersebut. Kemungkinan, menurut dia, cukup banyak kalangan yang memanfaatkan sampah di pasar tersebut untuk menarik pungutan. rfa
Wednesday, June 13, 2007
Berkah dari Tumpukan Sampah
Posted by RaharjoSugengUtomo at 5:46 PM
Labels: HeadlineNews: Republika
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment