Wednesday, June 13, 2007

Kebijakan ala Paket Combo

BISNIS - Rabu, 13/06/2007

Pemerintah kemarin mengumumkan paket kebijakan "baru" melalui Inpres No. 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Berbeda dengan sebelumnya, Inpres kali ini terdiri dari empat paket kebijakan, yakni perbaikan iklim investasi, reformasi sistem keuangan, percepatan pembangunan infrastruktur, dan pemberdayaan UMKM. Total langkah kebijakan yang akan diambil mencakup 141 butir dan melibatkan 19 kementerian dan lembaga nondepartemen.Ada empat hal pokok yang penting untuk kita bahas menyangkut Inpres ini, yaitu cakupan yang begitu luas, koherensi antarlangkah, masih lemahnya orientasi pada langkah nyata, dan masalah birokrasi.Isu pertama adalah cakupan yang begitu luas tampaknya mengesankan bahwa pemerintah akan serius menangani masalah di keempat bidang tersebut. Tetapi seperti dua sisi dari mata uang, itu juga mengisaratkan bahwa kita memiliki begitu banyak persoalan yang serius. Paket kali ini pun sangat mirip dengan letter of intent (LoI) Dana Moneter Internasional (IMF) dulu, yaitu berupa daftar panjang yang harus dikerjakan oleh para menteri.Karena cakupannya yang begitu meluas, Inpres ini layak disebut sebagai kebijakan paket combo. Memang dengan adanya daftar panjang, transparansi kebijakan pemerintah menjadi lebih baik. Tetapi di lain pihak hal itu juga mengesankan betapa lelet-nya Kabinet Indonesia Bersatu, sehingga setelah separuh masa pemerintahan ternyata masih begitu banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Inpres No. 6/2007 ini merupakan pengakuan yang jujur dari tim ekonomi kabinet bahwa mereka selama ini tertidur.Isu kedua adalah masalah koherensi antarkebijakan yang begitu meluas. Nyaris tidak ada upaya pemilahan antara masalah yang urgent bin prioritas dan yang tidak. Hal ini mungkin karena semua masalah yang ingin diatasi tersebut tampak sangat mendesak. Ini merupakan kebiasaan buruk yang diwarisi dari LoI IMF yang telah mengakibatkan berbagai langkah dan kebijakan pemerintah menjadi tidak fokus.Tradisi dikeluarkannya paket kebijakan biasanya diarahkan sebagai sebuah langkah yang sangat terintegrasi untuk memecahkan sebuah masalah tertentu dan atau melakukan sebuah policy shift secara signifikan. Contohnya adalah deregulasi perbankan (Paket Oktober/Pakto 88) sebagai bagian dari liberalisasi sistem keuangan yang pada gilirannya telah mengubah struktur industri perbankan nasional. Inpres kali ini jelas tidak memenuhi kualifikasi koherensi seperti itu.Kalau kita telisik lebih dalam lagi Inpres tersebut jelas tidak lebih dari kompilasi hal-hal yang sangat rutin. Misalnya dalam kebijakan perbaikan iklim investasi terdapat butir mengenai peninjauan perda-perda yang menghambat investasi di daerah. Ini memang masalah besar. Tetapi bukankah hal itu terjadi karena lemahnya mekanisme evaluasi perda yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dalam melakukan sinkronisasi sistem peraturan dan perundang-undangan? Setiap saat akan selalu ada perda baru yang terbit, sehingga kemungkinan adanya aturan yang tidak sinkron selalu ada. Artinya, isu seperti ini sudah selayaknya menjadi pekerjaan rutin Departemen Dalam Negeri dan Departemen Keuangan. Kenapa harus masuk menjadi paket?Tidak nyambungHal yang paling mengherankan adalah betapa logika urut-urutan (sequencing) antarprogram ternyata tidak nyambung. Contohnya, penyusunan kebijakan industri nasional harus selesai Oktober 2007, dan di lain pihak perpres mengenai bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal harus selesai Juni 2007. Logikanya, kebijakan industrinya dulu yang harus kita benahi baru kemudian memutuskan untuk membuka atau menutup kegiatan investasi di bidang tertentu sesuai kebijakan industrinya. Bukannya dibalik! Masalah ketiga adalah mengenai masih lemahnya orientasi terhadap langkah nyata. Kebanyakan dari langkah yang hendak dilakukan berbentuk peraturan dari perpres sampai peraturan dirjen atau pembuatan kebijakan umum. Langkah riilnya hampir bisa dikatakan nihil. Problem yang dihadapi bangsa ini adalah lebih banyak mengenai implementasi dan bagaimana menggerakkan birokrasi secara efektif. Sejak dua tahun lalu pemerintah menginginkan pengurusan perizinan usaha bisa dipersingkat menjadi 30 hari. Tetapi mana hasilnya? Padahal, urusan perizinan di Singapura bisa selesai dalam tiga hari saja dan di Malaysia hanya tujuh hari dengan biaya yang sangat rendah.Masalah keempat terkait dengan masalah ketiga, yakni bagaimana menggerakkan birokrasi. Untuk itu, kita harus bisa mengurai masalah satu per satu secara rinci dan kemudian memecahkan masalahnya secara battle to battle. Kelemahan para pejabat kita adalah dalam kesadaran mengenai pentingnya pemahaman masalah secara detail. Pepatah mengatakan separuh masalah telah terselesaikan bila kita menguasai permasalahan secara lengkap. The devil is in the detail. Sebagai contoh mengenai masalah pembebasan lahan untuk proyek infrastruktur yang sampai saat ini belum terselesaikan secara cepat. Contoh lain adalah mengenai masalah tidak efektifnya peran Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB) yang dari satu kasus ke kasus lain dan dari satu daerah ke daerah lain menghadapi permasalahan yang berbeda-beda. Sayangnya, untuk kedua hal itu tidak ada langkah nyata dan detail yang dirumuskan. Padahal, masalahnya sangat mikro dan tidak bisa diselesaikan hanya dengan membuat kerangka kebijakan ataupun Timnas.Kita tampaknya sudah bosan dengan bualan dari satu paket ke paket lainnya. Mr. Paket, rakyat sedang menunggu aksi nyata bukan sekadar paket!
Oleh Iman Sugema
Senior Economist, Inter CAFE, Institut Pertanian Bogor

0 comments: