Wednesday, June 13, 2007

Kehidupan: Ketika Tunanetra "Nonton" Film

KOMPAS - Rabu, 13 Juni 2007

AHMAD ARIF

Layar telah disorot, film pun mulai diputar. Masta Simanjuntak (28) masih menunduk. Di bangku sebelah, Jhony Watimena (58) masih juga mengenakan kacamata hitamnya.
Namun, saat film sampai pada adegan petugas sita hendak menyita beha Lydia Kandou yang memerankan Bu Tajir Saldono dalam film Ketika, keduanya tergelak.
"Ancur...," ucap Masta, sambil tetap menunduk.
Saat, Pak Tajir—yang diperankan Deddy Mizwar—dan keluarganya diusir dari rumah oleh petugas sita karena tak mampu membayar utang pada negara, Masta pun trenyuh. "Kasihan, ya," bisik Masta kepada abang sepupunya, Franky Sitepu (31), yang menemaninya nonton film di Goethe-Institut, Jakarta, Selasa (12/6) sore.
Beberapa orang terkadang lewat di depan Masta dan Jhony, yang duduk di deretan bangku paling depan itu, tetapi mereka sepertinya tak terganggu. Keduanya tetap bisa menyimak jalannya film dengan kepekaan telinga.
Masta—juga Jhony—memang tak butuh mata untuk melihat film itu. Walaupun sungguh- sungguh ingin melihat Deddy Mizwar yang ia kagumi, tapi Masta tak mampu. Sejak umur 17 tahun, glaukoma merenggut penglihatannya. "Sejak itu dunia gelap," kenang Masta.
Kenangan akan Deddy Mizwar muda yang gagah saat menjadi pejuang kemerdekaan dalam film Naga Bonar pun samar-samar masih ia ingat. Waktu kecil, Masta menggemari film-film Deddy Mizwar, termasuk Naga Bonar, yang mengambil setting di Sumatera Utara. "Sekarang, Bang Deddy seperti apa, ya?" ujar Masta.
Kenangannya terputus ketika narator berucap di sela-sela pemutaran film Ketika, "Akhirnya, teman Pak Tajir pun bunuh diri, melompat dari gedung bertingkat." Masta pun tercekat. "Orang yang ditelepon Pak Tajir, bunuh diri, ya. Kasihan orang- orang kaya itu," bisik Masta.
Dalam film Ketika yang asli, yang diproduksi PT Demi Gisela Citra Sinema, barangkali Masta tak akan bisa menangkap adegan bunuh diri itu. Tetapi, kolaborasi antara Kedutaan Besar Swiss, Yayasan Mitra Netra, Voice of Human Rights News Centre, Perkumpulan Seni Indonesia, dan Goethe Institut-Jakarta, telah mewujudkan impian para tunanetra untuk "menonton" film itu dengan lebih baik.
Hingga film berakhir dua jam kemudian, Masta, Jhony, dan puluhan tunanetra lainnya yang diundang untuk "melihat" film itu tak beranjak dari bangku.
Masta menyimak, mendiskusikan, dan sesekali bertanya kepada sepupunya mengenai adegan demi adegan di film. Seusai menonton, dia pun mampu berkisah secara utuh mengenai isi film tentang satire keluarga kaya yang jatuh bangkrut tersebut.
"Ini film pertama yang bisa saya nikmati. Mungkin, masih ada yang terlewat, tapi saya bahagia bisa merasakan pesan yang hendak disampaikan film ini. Andai ada lebih banyak film seperti ini, yang memang dibuat dengan memerhatikan tunanetra," tambah Jhony, yang berprofesi sebagai guru di Sekolah Luar Biasa Lebak Bulus.
Memang, masih terdapat lubang. Tidak semua adegan film, yang telah diberi narasi itu, bisa ditangkap tunanetra. "Ini memang proyek pertama film yang digubah untuk tunanetra. Masih banyak yang harus dibenahi," kata FX Rudy Gunawan, Kepala Editor Voice of Human Rights News Centre.
Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Netra Bambang Basuki memang melihat para tunanetra di Indonesia masih didiskriminasikan dalam berbagai bidang. "Sebagian ada yang melihat kami dengan rasa kasihan. Padahal itu tak perlu kalau kami diberi aksesibilitas," katanya.
Dan, ketika lampu sorot padam sebagai tanda film telah selesai diputar, Masta pun kembali ke kehidupan nyata. "Huh, saya harus menyiapkan lamaran lagi. Saya harus dapat kerja tetap," kata lulusan Sastra Inggris, Universitas Nasional Jakarta, ini.

0 comments: