Wednesday, June 13, 2007

Pendidikan: Warga Miskin Khawatir Tidak Bisa Biayai Sekolah

KOMPAS - Rabu, 13 Juni 2007

Jakarta, Kompas - Meski Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah mencanangkan pembebasan seluruh biaya pendidikan untuk tingkat dasar (SD/SMP sederajat), tetapi warga miskin masih mengkhawatirkan biaya masuk sekolah di tahun ajaran baru nanti. Mereka tidak sepenuhnya percaya pendidikan gratis benar-benar terealisasi di lapangan pada semua tingkatan.
Umumnya warga miskin sudah mendengar tentang kebijakan sekolah gratis di tingkat pendidikan dasar itu. Hanya saja, mereka masih dibayangi ketakutan pengenaan biaya gedung, pungutan untuk buku, serta seragam sekolah.
Warga Kemanggisan, Jakarta Barat, Ika Rustika (37), termasuk yang masih khawatir untuk memasukkan anaknya ke SMP dengan kemungkinan adanya berbagai uang pungutan. Janda beranak satu itu tidak mempunyai tabungan sepeser pun. Penghasilannya dari upah memasang payet baju sehari hanya Rp 3.000. Selebihnya mengandalkan bantuan keluarga.
"Anak saya sudah ikut tes, harapannya bisa masuk SMP 16 Palmerah. Ada tetangga yang sudah di sana tahun lalu dan katanya gratis uang gedung dan SPP (sumbangan pembinaan pendidikan), tetapi saya masih khawatir kalau tahun ini ada biaya yang sifatnya mendadak," ujarnya.
Selain Ika, beberapa keluarga miskin juga mengeluhkan hal serupa. Dodo Hidayat, pedagang ikan hias di kawasan pekuburan Menteng Pulo, Jakarta Selatan, misalnya, kini malah khawatir anaknya tidak bisa melanjutkan ke SMP. "Saya sudah tanya ke tiga SMP negeri, kata pihak sekolahnya harus sediain uang gedung Rp 1 juta. Katanya, uang itu bisa dicicil selama anak masih bersekolah di sana. Saya belum tahu nanti dapat uang dari mana," kata Dodo yang mengaku saat ini hanya punya tabungan Rp 250.000.
Pengalaman terhadap dunia pendidikan paling pahit dirasakan oleh Nazar (58). Warga yang sehari-hari tinggal di kompleks pekuburan itu tak punya penghasilan tetap dan hanya sesekali mengojekkan motor orang lain. Menjadi penjaga pekuburan dan pekerja serabutan, penghasilan Nazar sebulan sekitar Rp 250.000. Putrinya, Yuliana, selulus SD setahun lalu pernah sekolah di satu SMP swasta. "Masuk ke swasta juga karena mau ke negeri enggak ada duit," ujarnya.
Setelah iuran Rp 20.000 per bulan tertunggak selama empat bulan, Yuliana kemudian malu dan enggan kembali ke sekolah. "Saya inginnya, Yuliana bisa sekolah lagi, tapi bagaimana kalau tak bisa bayar lagi," ujarnya.
Hampir semua warga miskin itu tahu adanya program sekolah gratis di Jakarta. Namun, di tengah beban hidup yang kian sulit, mereka pesimistis bisa menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah bermutu. "Apalagi gratis," kata Trisna, warga Petamburan, Jakarta Pusat. (ine)

0 comments: