KOMPAS - Jumat, 08 Juni 2007
Heiligendamm, Kamis - Keinginan Kelompok Delapan Negara atau G-8 untuk bisa mengurangi emisi gas rumah kaca makin sulit terwujud. Meski pertemuan baru saja dibuka, pembahasan isu perubahan iklim sudah mentok. AS tetap menolak usulan Jerman mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 50 persen pada tahun 2050.
Sikap dan posisi AS tentang isu perubahan iklim tidak berubah. Meski demikian, menurut Presiden AS George W Bush, Kamis (7/6), AS siap menjadi pihak yang memimpin perlawanan terhadap perubahan iklim. Namun, ternyata kesediaan AS itu bersyarat. Bush bersikeras minta agar China dan India juga terlibat dalam kesepakatan apa pun tentang pengurangan tingkat emisi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global.
Alasan Bush, dalam kesepakatan apa pun negara berkembang tetap harus ikut terlibat, apalagi, kata Bush, selama ini kelompok negara berkembang dianggap sebagai penghasil polusi terbesar. "Peran kami ini sebagai jembatan rakyat di Eropa, India, dan China. Jika kita ingin bernegosiasi dengan mereka, penting memberi kesempatan menentukan target internasional. Tahun 2008, penghasil emisi gas rumah kaca harus bersatu. Takkan ada perubahan jika China dan India tak ikut terlibat," kata Bush.
Menanggapi pernyataan Bush, Perdana Menteri (PM) India Manmohan Singh menyatakan, upaya-upaya untuk menanggulangi pemanasan global sebaiknya tidak merintangi seluruh proses pembangunan negara miskin. Komentar PM Singh menjadi indikasi sikap India yang ragu-ragu dalam menerima persyaratan apa pun. Ada kekhawatiran upaya-upaya itu bisa memperlambat perkembangan India yang cepat.
Sebelumnya, Departemen Luar Negeri India menyatakan, alokasi pengeluaran untuk memperlambat pemanasan global "harus bisa dibagi dengan adil". Hal ini bukan hanya salah India, tetapi juga negara-negara lain. Pasalnya, dalam catatan tahun 2000, India hanya memproduksi 4 persen emisi gas rumah kaca global. Banyak pihak percaya sejak perkembangan ekonomi India melejit gila-gilaan, emisi gas rumah kaca juga diyakini meningkat tajam. India bukan anggota G-8, tetapi diundang untuk hadir di pertemuan G-8 bersama dengan Brasil, China, Meksiko, dan Afrika Selatan.
Seusai pertemuan G-8, para pemimpin negara menyepakati adanya pengurangan "penting" emisi gas rumah kaca dan menjaga kesepakatan pasca-Protokol Kyoto tahun 2009. "Kami sepakat dan sadar emisi karbon dioksida harus dihentikan terlebih dahulu. Kemudian harus disusul pengurangan penting lainnya," kata Kanselir Jerman Angela Merkel kepada wartawan.
Negara-negara anggota G-8 juga sepakat "mempertimbangkan" usulan dari Jerman tentang pengurangan emisi gas rumah kaca sampai 50 persen tahun 2050. Namun, para pemimpin tampaknya tidak menunjukkan komitmen yang lebih jelas. Padahal, selama ini Merkel telah berusaha keras memasukkan target pengurangan emisi gas rumah kaca global dalam teks G-8.
Menurut Merkel, pengurangan emisi gas rumah kaca sangat penting agar suhu global tidak akan meningkat hingga lebih dari 2 derajat Celsius di atas ambang tingkat pre-industri. Jika itu terjadi, dalam pandangan Uni Eropa, hal itu akan memicu perubahan "berbahaya" dalam sistem iklim.
Dalam kesempatan yang terpisah, Presiden Perancis Nicolas Sarkozy juga bersikeras meminta agar G-8 segera menetapkan target internasional yang jelas untuk bisa mengurangi tingkat emisi gas rumah kaca. "Kita sekarang harus menetapkan target yang jelas sesuai tingkat internasional. Target ini tidak bisa dinegosiasikan. Peran PBB juga tidak bisa ditawar. Kepada rekan AS, kami tidak bisa lagi menunggu. Kita sudah cukup lama menunggu," kata Sarkozy.
Alihkan perhatian
Bush sekaligus juga menyangkal tudingan bahwa AS tidak mau berbuat apa-apa dalam melawan perubahan iklim. AS telah banyak berbuat dan terbukti tingkat emisi gas rumah kaca di AS menurun tahun lalu. "Yang penting adalah kami masih tetap mengutamakan lingkungan tanpa harus meninggalkan perkembangan teknologi yang paling baru," ujarnya.
Tanpa bermaksud mengesampingkan masalah lingkungan, Bush meminta G-8 untuk tetap memerhatikan isu-isu kemanusiaan, termasuk pemberian bantuan bagi Afrika. "Isu emisi memang sangat penting. Negara-negara kaya dan sejahtera juga harus bisa menyelamatkan hidup orang lain di negara lain," kata Bush.
Sampai saat ini AS adalah anggota G-8 satu-satunya yang tidak meratifikasi Protokol Kyoto PBB yang akan mengurangi emisi gas rumah kaca maksimal sampai tahun 2012. Bush berencana mendorong 15 negara penghasil polusi terbesar di dunia untuk menyepakati pengurangan emisi itu pada akhir tahun 2008.
Senada dengan pernyataan Bush, PM Inggris Tony Blair juga menekankan ada perkembangan dalam pertemuan di kawasan wisata Heiligendamm di Jerman utara itu. "Saya kira ada poin penting yang kami sepakati sehingga bisa mengurangi emisi dengan cara tepat," ujarnya.
Isu serius
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan pemanasan global mempunyai dampak serius bagi Indonesia yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Sebagai negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.000 pulau besar dan kecil, pemanasan global bisa menyebabkan pulau-pulau kecil tenggelam. Pemanasan global dan perubahan iklim berdampak pada pola tanam petani, kemunduran masa tanam, dan gagal panen.
Saat berpidato pada peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Rabu, Presiden Yudhoyono menyatakan, pemerintah harus mengambil kebijakan efisiensi energi dan mendorong penggunaan bahan bakar terbarukan. Selain itu, membuat program penyesuaian musim tanam dari pola iklim setempat, mengembangkan tanaman tahan kering, dan efisiensi pemakaian air irigasi.(REUTERS/AFP/AP/INU/LUK)
Friday, June 08, 2007
G-8 Gagal Capai Kesepakatan; AS Tetap Menolak Usulan Kanselir Jerman
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:20 AM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment