Friday, June 08, 2007

'Setahun Warga Terintimidasi'

REPUBLIKA - Jumat, 08 Juni 2007

Semua aksi Marinir bisa menjerat tanggung jawab komando tertinggi.

JAKARTA -- Sebelum berpuncak pada tragedi hujan peluru tajam dari senjata prajurit Marinir yang merenggut empat nyawa sipil pada 30 Mei lalu, sedikitnya ada lima peristiwa intimidasi sepanjang 2006 yang dialami warga Alastlogo, Lekok, Pasuruan, Jawa Timur. Yaitu mulai 29 Maret, 6 April, 6 Juli, 20 November, dan 14 Desember.
Itulah isi laporan penyelidikan oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) serta Lembaga Bantuan Hukum (LBH), yang diungkapkan dalam jumpa pers bersama mantan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di kantor PBNU, Jakarta, Kamis (7/6). Beberapa LSM lokal juga ikut terlibat dalam investigasi tersebut.
Sementara pada 2007, lanjut laporan itu, tercatat dua kasus teror, yakni pada 10 Januari dan 5 Maret. Semua itu sangat menggelisahkan warga Desa Alastlogo, yaitu penduduk di atas lahan yang kepemilikannya diklaim TNI AL untuk dibuat pusat latihan tempur (puslatpur).
''Rangkaian kekerasan sejak setahun lalu itu berupa pengambilan paksa alat pertanian warga, perusakan kebun dan barang (batu bata) oleh tank-tank Marinir, pematokan lahan, bahkan sampai pemukulan. Aksi itu sempat mengundang dua kali protes warga dengan memblokir jalan provinsi,'' bunyi laporan LSM itu.
Kemudian empat hari menjelang peristiwa penembakan maut pada akhir bulan lalu, warga Desa Alas Tlogo, mengalami intimidasi beruntun dan ancaman penembakan saat Marinir mengawal pengerjaan lahan oleh PT Rajawali Nusantara. ''Saat itu warga meminta Rajawali Nusantara menghentikan pengolahan lahan, namun dijawab Marinir bahwa perintah atasan harus terus dilakukan,'' kata Koordinator Kontras, Usman Hamid.
Sedangkan dari kesaksian warga bernama Musniatun dan Munaji, yang berdiri 1,5 meter dari komandan Marinir saat peristiwa penembakan, terungkap, Marinir hanya mendapatkan ancaman verbal, bukan senjata tajam seperti dituduhkan TNI selama ini. Jumlah warga yang berkumpul di lokasi pun hanya 50-60, bukan 300. Yang lain hanya berdiri di halaman rumah.
Arah penembakan ternyata ditujukan pada beberapa warga yang vokal. Dari titik awal kejadian, Marinir maju hingga 50-60 meter. Mayoritas luka diderita warga juga di belakang tubuh sehingga menegaskan bahwa mereka dikejar, dipukul, dan ditembaki dari belakang, bukan menyerang Marinir. Usman menyimpulkan, Marinir telah menggunakan kekuatan berlebihan. ''Ini dapat dikategorikan pelanggaran HAM berat,'' ujarnya.
Dia juga mendesak dibawanya kasus ini ke peradilan umum bahkan peradilan HAM. ''Komandan Marinir/TNI AL dalam garis komando sampai unit pasukan pelaku penembakan patut diduga mengetahui bahwa peristiwa itu akan terjadi, tetapi tidak mengambil tindakan pencegahan,'' kata Usman.
Bisa jerat PanglimaMantan Sekjen Komnas HAM, Asmara Nababan, mengingatkan, pengertian pelanggaran HAM berat dalam UU Peradilan HAM adalah terencana, sistematis, atau meluas. ''Jadi (kasus) ini juga akan bisa menuntut tanggung jawab komandan. Jangan hanya mengorbankan prajurit rendahan. Tuntutan bisa sampai Panglima TNI, tak hanya komandan Korps Marinir.''
Namun Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, menanggapi, saat ini rezim hukumnya adalah peradilan militer. ''Biarlah POM TNI AL yang menangani.(rto/djo )

0 comments: