Friday, June 08, 2007

Sisa Trauma di Alas Tlogo

REPUBLIKA - Jumat, 08 Juni 2007

Bendera setengah tiang masih berkibar di Desa Alas Tlogo, Kec Lekok, Kab Pasuruan, Jatim. Sepekan pascatragedi berdarah, kondisi Desa Alas Tlogo mulai normal. Masyarakat setempat mulai beraktivitas seperti biasa, meski banyak yang masih trauma. Para korban penembakan, seperti Khoirul Anwar dan Erwanto yang dirawat di Rumah Sakit Syaiful Anwar (RSSA) Malang, kondisinya juga terus membaik.
Meski serpihan proyektil peluru anggota Marinir TNI AL masih bersarang di tubuh Khoirul Anwar hingga kemarin (7/6) karena belum dioperasi, bocah yang sudah piatu itu terlihat segar. Selang di dadanya pun sudah dibuka. Dia tidak lagi sering merengek dan menangis.
Membaiknya dua pasien korban tembak itu, membuat pihak RSSA berencana memindahkan mereka dari ruang isolasi 13 ke ruang inap biasa. Alasan rumah sakit, sebagaimana diungkapkan Humas RSSA Malang, Sri Endah Noviayanti, agar keluarga korban bisa leluasa mengunjunginya. Kerabat korban penembakan itu selama ini memang banyak yang hendak menjenguk. Namun, mereka dibatasi.
Sementara kondisi masyarakat di Desa Alas Tlogo juga sudah berangsur-angsur normal. Mereka yang umumnya petani mulai menggarap ladang-ladang yang disengketakan TNI AL. Murid-murid SD pun sudah banyak yang kembali belajar di sekolahnya. Hanya, di antara mereka banyak yang diantar orang tuanya.
Maklum, masih banyak yang mengaku trauma. ''Sebenarnya kami masih sangat khawatir, kejadian penembakan terjadi lagi. Makanya, saya masih tidak berani jauh ke dalam ladang mencari rumput,'' ungkap Madani salah seorang warga Lekok yang diamini Mu'alim.
Hanya, dia mengaku sangat tidak mungkin menghentikan kegiatannya sehari-hari itu. Alasannya, sumber pendapatan sehari-hari semua warga Lekok yang mayoritas petani itu ada di ladang yang disengketakan itu. ''Kalau tidak kerja, dari mana kami makan,'' tutur Mu'alim. Ketakutan serta kehawatiran itu memang tidak hanya dialami Mu'alim dan Madani. Hampir semua warga masih takut. Sebab, tragedi penembakan yang dilakukan 13 anggota Marinir TNI AL yang menewaskan empat warga sipil itu benar-benar menyayat pilu mereka.
Bagaimana tidak pilu, empat nyawa warga sipil melayang. Mereka adalah Dewi Khotijah (30 tahun), Mistin, Sutam, dan Rohkman yang selama ini dikenal dekat dengan anggota Marinir yang bertugas di kawasan tersebut. Bahkan, Dewi Khotijah selama ini hampir setiap hari memberikan suguhan berupa makan, minum, dan menyediakan tempat shalat bagi mereka.
Namun, kebaikan Khotijah itu justru dibalas dengan tembakan maut. Wanita yang sedang hamil empat bulan ini tewas mengenaskan di ujung senapan anggota Marinir. Kepalanya di sisi kanan pecah. Mata kanan dan sebagian otaknya berhamburan di dalam rumahnya. Kepergian yang memilukan itu membuat ibunya, Sundari, histeris sampai berkali-kali pingsan, tidak sadarkan diri.
Begitu juga suaminya, Sahid. Dia yang berusaha menyelamatkan anak pertamanya, Lutfianto, hanya bisa meratapi kepergian istrinya. Bahkan, hingga kini dia masih terlihat shock. Kondisi serupa dialami keluarga Samad. Putrinya, Mistin, meninggal dunia diberondong peluru ketika menggendong anaknya yang bernama Khoirul Anwar.
Perasaan serupa juga dialami keluarga Sariyep. Suaminya, Sutam (40 tahun), ditembak anggota Marinir di depan matanya. Ibu satu anak ini tidak habis pikir, mengapa suaminya ditembak hingga mati. Sehingga, dia sampai saat ini belum mau makan. ''Ibu masih mengurung diri terus, tidak mau makan,'' kata Siti Sulihah, putri dari pasangan Sariyep-Sutam ini.
Sulihah, gadis berusia 13 tahun ini, juga tidak henti-hentinya menangisi kepergian ayahnya. Apalagi, melihat sang ibu terus mengurung diri meratapi kepergian suaminya. Kisah sedih mereka itu, bermula ketika warga meminta buldozer milik PT Rajawali tidak meratakan lahan milik warga.
Namun, permintaan tersebut justru dibalas dengan tembakan anggota Marinir setelah mendapatkan komando dari komandannya. Warga yang meminta agar tanamannya tidak diratakan itu bukannya tanpa alasan. Mereka mengaku memiliki bukti-bukti lengkap tentang kepemilikan tanahnya. Kades Alas Tlogo, Imam Supnadi, mengakui soal bukti-bukti kepemilikan itu. Selama ini, warga Desa Alas Tlogo memang paling gencar mempermasalahkan tanah yang diklaim milik TNI AL tersebut, karena mereka merasa punya bukti kuat kepemilikannya.
Namun, klaim warga berujung getir. Sebab, kasus yang sempat dibawa ke Pengadilan Negeri Bangil pada 12 Maret 2007, justru mentah. PN Bangil menolak gugatan warga. Alasannya, TNI AL dinyatakan sebagai pemilik sah atas tanah itu, karena memegang sertifikat yang dikeluarkan BPN Malang tahun 1993.
Warga pun banding atas putusan tersebut. Namun, putusan banding belum turun, tragedi berdarah terjadi. Karena itu, masyarakat dan beberapa tokoh meminta agar penyelesaian kasus tersebut diselesaikan di tingkat elite. Apalagi, kasus sengketa tanah ini tidak hanya melibatkan satu desa, namun 11 desa yang ada di tiga kecamatan di Pasuruan. Seperti Kecamatan Nguling, Lekok, dan Grati.
Bupati Pasuruan, Jusbakir, pun berharap senada. Menurut dia, kasus yang menewaskan warganya harus diselesaikan pemerintah pusat. ''Kami akan mengirim surat ke pemerintah, agar tanah itu diserahkan warga. Puslatpur TNI AL akan kami usulkan dipindah ke daerah lain,'' ujar dia. Hal senada juga diungkapkan Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, Ahad (3/6). Dia menjelaskan sengketa tanah yang melibatkan warga dan TNI sebagaimana yang terjadi di Pasuruan tidak bisa diselesaikan di daerah. (aji )

0 comments: