Friday, June 08, 2007

BAHASA: Normal

KOMPAS - Jumat, 08 Juni 2007

Eh, ada apa kok Kompas memusuhi ODHA? ODHA singkatan dari orang dengan HIV/AIDS. Keterangan foto kedua pada halaman muka Kompas, 24 Mei 2007, menyatakan bahwa "kebersamaan manusia normal terhadap para penderita HIV dapat menjadi semangat tersendiri bagi ODHA untuk menjalani kehidupan sehari-hari".
Selain ada masalah dengan konstruksi "(k)ebersamaan … terhadap" yang aneh dan salah (tapi tidak dibahas di sini), istilah normal dalam kalimat itu kan berarti harian ini sedang mengejek ODHA sebagai manusia tak normal?
Ah, ya tidak, toh. Isi berita secara keseluruhan sangat simpatik pada tantangan yang dihadapi ODHA.
Normal berarti sesuai dengan norma, yang aslinya (Latin) berarti siku, bukan yang biasa ditekuk-tekuk di tengah lengan, melainkan alat pertukangan. Bangunan normal adalah yang, berkat pemakaian siku dengan tepat oleh tukang ahli, berdiri gagah tegak lurus dengan bumi bak Monas, bukan seperti Menara Pisa.
Nah, karena para tukang Romawi sangat pandai memanfaatkan norma membangun tegak lurus, bangunan mereka yang biasa terlihat adalah yang normal. Tukang yang tak bisa memakai norma dengan normal pun tak laku dan harus ganti pekerjaan. Makna normal pun berkembanglah: sesuai dengan standar, patokan, acuan, hukum, ukuran, atau kebiasaan; rata-rata; tidak lain dari yang lain.
Satu alat pertukangan lain, penggaris (regula), lewat proses yang sama juga naik pangkat dan mendapatkan makna yang sangat berdekatan dengan norma dalam bentuk bahasa Inggris rule, regulation, dan seterusnya. Sama seperti normal masih bisa berarti tegak lurus, rule juga masih bisa berarti penggaris.
Tak normal tak dengan sendirinya berarti kurang dari normal atau subnormal. Secara ketat tak normal hanya berarti berbeda dari kebiasaan, walaupun abnormal merujuk pada perbedaan yang tak dikehendaki, bahkan dalam bahasa Indonesia sering dipakai dalam arti tidak waras. Ada pula supernormal dan paranormal yang biasanya bukan urusan tukang bangunan, apalagi yang waras.
Namun, apabila dikotomi normal-tak normal dikemukakan, posisi tak normal selalu terdesak. Kamus Besar Bahasa Indonesia, misalnya, dengan tegas mengartikan normal dengan rumusan-rumusan negatif: "tidak menyimpang dari suatu norma atau kaidah … tanpa cacat; tidak ada kelainan … bebas dari gangguan jiwa". Jelas bahwa tak normal dipahami sebagai menyimpang dari kaidah, cacat, berkelainan, punya gangguan jiwa.
Penulis keterangan foto itu mungkin hanya ingin menyatakan bahwa ODHA adalah manusia yang sedang berada dalam keadaan tak biasa. Namun, dengan menyebut manusia bukan ODHA sebagai manusia normal, ODHA langsung ditempatkan dalam posisi inferior, terpojok. ODHA sudah menghadapi cukup banyak tantangan dan tentu tak butuh peremehan semacam ini.
Dikotomi normal-tak normal juga sering dipakai media massa dalam berita tentang homoseksual, transeksual, dan orang cacat, entah dengan nada membela entah dengan menyalahkan. Kiranya normal saja apabila suatu hari terdengar berita bahwa ODHA dan mereka semua membuat pernyataan bahwa mereka masing-masing dan bersama-sama adalah pribadi dan komunitas yang merupakan bagian dari umat manusia normal penghuni bumi yang satu ini. Masing-masing dengan tantangan hidup berbeda. Perlu dimengerti. Tak butuh dikasihani, apalagi dijauhi. Amit-amit dibenci.
SAMSUDIN BERLIAN Pengamat Bahasa

0 comments: