REPUBLIKA - Senin, 04 Juni 2007
Nasib baik belum mau berpihak pada perempuan bernama Mbok Jah (56 tahun). Setiap hari, dia bergulat dengan banyak tekanan ekonomi. Untuk menopang hidupnya, dia berjualan nasi pecel, kopi, teh, dan makanan kecil di sebelah Pasar Sleko, Madiun, Jawa Timur. Konsumennya adalah masyarakat kelas bawah seperti kuli pasar dan tukang becak. Untungnya pun tak seberapa. ''Yang penting cukup buat makan,'' tutur ibu empat anak itu.
Ia mengaku sudah puluhan tahun menekuni hidup seperti itu. Suaminya tidak punya pekerjaan tetap. Sesekali, suaminya membantu berjualan. Beban hidup Mbok Jah menjadi bertambah berat karena dia harus membayar angsuran kepada bank thithil --''bank'' perorangan yang menyediakan pinjaman kepada masyarakat dengan bunga sangat tinggi.
Hidup seperti Mbok Jah ini juga dijalani umumnya warga pasar. Mereka menjadi sasaran empuk untuk dijadikan nasabah oleh bank thithil. Para nasabah ditawari utang dengan bunga 20 hingga 30 persen. Banyak warga miskin yang kepepet menerima tawaran pinjaman itu dan akhirnya terjerat utang.
Selain mematok bunga tinggi, para pemberi pinjaman dengan bunga tinggi ini juga main sunat (potong) nilai pinjaman. Misalnya, pinjaman yang disepakati Rp 100 ribu, hanya diberikan kepada nasabahnya sebesar Rp 90 ribu. Sementara utangnya tetap dihitung Rp 100 ribu. Jika utang itu diangsur 24 kali (24 hari), maka sang nasabah harus membayar senilai Rp 120 ribu.
Dengan perhitungan seperti itu, maka Mbok Jah, yang mepunyai empat item pinjaman, setiap harinya harus membayar angsuran sebesar Rp 18 ribu. Pembayaran angsuran tersebut diberikan kepada pekerja bank thithil yang setiap hari mendatangi warungnya. Dengan kondisi seperti ini, Mbok Jah terus berganung kepada pinjaman para rentenir selama bertahun-tahun. Dia tidak cukup punya kekuatan untuk melepaskan diri dari jerat rentenir. ''Saya ini kan orang kecil. Cari modal ya susah. Ya terpaksa pinjam utang di bank thithil itu,'' tutur dia.
Dengan menekuni usaha warung seperti itu, hasil yang didapatkan Mbok Jah tentu tidak seberapa. Menurut dia, setiap hari keuntungan yang didapatkan Rp 25 ribu hingga Rp 50 ribu. Kemudian dari keuntungan sebesar itu, dia harus membayar angsuran Rp 18 ribu. Praktis, yang tersisa dari hasil berdagang kecil-kecilannya itu menjadi tidak seberapa. Karena keuntungannya terlampau kecil, dia kerap tidak membayar cicilan dan harus bertengkar dengan petugas penarik angsuran.
Nasib yang sama, juga dialami Ny Hasan, salah satu pedagang sayuran, di Pasar Nambangan, Madiun. Ia juga sudah bertahun-tahun terjerat pinjaman rentenir karena keuntungan yang diperolehnya dari berjualan sayur tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan, saat ini tanggunganya lebih berat daripada Mbok Jah, karena dia memiliki delapan item pinjaman. Tentu saja, angsurannya pun menjadi jauh lebih besar dari angsuran yang harus dibayar Mbok Jah. Sayang dia tidak bersedia menyebut nilai nominalnya. ''Nasib seperti saya ini susah. Masak setiap hari dikejar utang,'' ungkap dia. Dia pun hanya bisa pasrah menerima nasib yang harus dijalaninya.
Lebih mengenaskan nasib yang dialami perempuan yang mengaku bernama Ny Toro, warga Perumnas Candirejo, Nganjuk, Jawa Timur ini. Sekarang dia terjerat berbagai pinjaman rentenir. Nasib seperti ini terjadi karena kiriman uang suaminya yang bekerja di luar Jawa sering tidak mencukupi kebutuhan hidupnya. Selain terjerat utang bank thithil, ia juga terjerat pinjaman rentenir pribadi dengan bunga yang mencekik. Karena tidak mampu membayar angsuran, ia selalu bersembunyi jika sang rentenir mendatangi rumahnya.
Ny Toro punya beban berat setelah dia tidak sanggup membayar uang kontrakan rumah. Agar tetap punya tempat untuk berteduh, dia kemudian meminjam uang kepada rentenir senilai Rp 3 juta. Sang rentenir mematok bunga sebesar 30 persen. Dengan bunga sebesar itu, setiap bulan ia harus membayar bunga pinjaman senilai Rp 300 ribu. Nilai tersebut tidak termasuk angsuran untuk membayar pokok pinjaman.
Karena tidak mampu membayar bunga dan pokok pinjaman, sang rentenir pernah berniat menyita barang-barang milik Ny Toro, seperti TV dan kulkas. Namun, saat penyitaan akan dijalankan, Ny Toro melawan. Penyitaan pun batal dijalankan. Namun, karena kesulitan ekonomi terus saja menerpa Ny Toro, barang-barang itu akhirnya juga digadaikan ke kantor pegadaian.
Menanggapi banyaknya rentenir seperti itu, Kepala Dinas Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah (DPKM) Kabupaten Madiun, Dwijati Poernomo menjelaskan bahwa pemilik lembaga pinjaman berbunga tinggi itu bersifat perorangan, bukan koperasi. ''Kalau koperasi melakukan praktik seperti itu, akan kami cabut izinnya,' ujar Dwijati. Dia pun mengakui bahwa praktik seperti itu sangat merugikan masyarakat. ''Coba banyangkan, dengan bunga 30 persen, itu mencekik leher. Ini semua tergantung masyarakat sendiri. Kalau bungga tinggi, saya berharap masyarakat jangan pinja,'' tutur dia. Sayang, sejauh ini belum ada program yang jelas dari pemerintah setempat untuk melepaskan warga dari jerat rentenir ini. (juwair )
Monday, June 04, 2007
Hidup Berat Terjerat Rentenir
Posted by RaharjoSugengUtomo at 3:40 PM
Labels: HeadlineNews: Republika
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comments:
ini cerita pendek aq,aq seorang perantau di kota surabaya,awalnya aq dtng di kota surabaya diajak kwn,tapi lama kelamaan aq tak dpt pekerjaan,terpaksa beranikan diri untuk meminjan uang ama rentenir,untuk dikirim ke keluarga di kampun,aq dsini cuma membntu kwn jual itu pun sedikit penhasilan,tpi aq tak sangup membayar hutang am rentenir dan hutang udah menunpuk,terpaksa aq am kwn cr jln di internet sahpatau ad jln keluar,kami cek ternyatah ada atas nama ki songo dgn no.085217519919 beliau berikan petunjuk dan arahan,tapi berkat uang balik dari aki songo yang aq pesan,it lah selalu kugunakan skrn,dan kumpulkan hasilnya untuk lunasi hutangq ama rentenir,atau anda mau lebih jelas klik www.paranormal-kisongo.blogspot.com,in kisah aq.terima kasih.
Post a Comment