Monday, June 04, 2007

Rumah Kubah: Jangan Sampai Hanya Jadi "Mainan Baru"

KOMPAS - Senin, 04 Juni 2007

Meski matanya sudah memerah menahan kantuk, Harti (28) mencoba untuk tidak tertidur. Sambil menunggu suaminya pulang, Kamis (31/5) malam lalu, ia kemudian mengajak Kompas duduk di depan pintu kayu rumah dome yang baru ditempatinya sebulan lalu. Tak ada kursi di rumah itu, hanya tikar yang setiap saat bisa digelar untuk alas duduk.
Diterangi cahaya kemerahan lampu minyak dari tengah ruangan, Harti membagi kegembiraannya memperoleh bantuan rumah berbentuk kubah itu.
"Awalnya memang aneh rasanya, rumah kok bulat. Tapi lama-lama ya biasa. Malah senang. Kan hanya ada satu-satunya di Indonesia. Banyak orang yang pingin lihat dan masuk ke sini," katanya, tersenyum.
Di rumah berdiameter 7 meter itu Harti tinggal bersama Samsuri (29), suaminya, dan kedua anak kembarnya. Dengan empat penghuni, rumah dome milik Harti tampak tak terlalu sempit. Mungkin karena belum ada perabot-perabot berukuran besar di rumah itu.
Hanya ada kasur kapuk untuk alas tidur di kedua ruang kamar dan satu kompor aluminium beserta beberapa peralatan makan di ruang dapur.
Ruang depan dan lantai dua diisi barang-barang dagangan Harti, seperti aneka minuman, makanan kecil, dan barang-barang kebutuhan sehari-hari. Ramainya masyarakat yang ingin melihat rumah dome di pagi dan sore hari memang menjadi peluang ekonomi tersendiri sehingga Harti dan tiga tetangganya yang juga tinggal di rumah kubah membuka toko kelontong kecil-kecilan di ruang tamu mereka masing-masing.
Memasuki rumah yang disebut-sebut tahan gempa seharga Rp 35 juta itu serasa berada dalam tutup periuk yang sewaktu-waktu bisa dibuka. Ketika tutup itu dibuka, sebuah kue bundar ada di dalamnya. Empat ruang di lantai satu rumah dome menyerupai potongan-potongan kue berbentuk kerucut. Ruang tamu di depan, ruang tidur di samping kiri dan kanan, dan dapur di belakang. Berbaring di ruang atas berlantai kayu, penghuni bisa menatap langsung lubang angin di puncak kubah dan merasakan segarnya udara.
Adaptasi
Satu bulan pascaperesmian rumah dome, sebagian warga di kawasan permukiman rumah dome bagi korban gempa di Dukuh Sengir, Sumberharjo, Prambanan, Sleman, yang diberi nama New Nglepen itu belum juga terbiasa menempati rumah baru mereka. Perbedaan bentuk antara rumah dome setinggi 4,6 meter dan rumah tradisional jelas membutuhkan proses adaptasi tersendiri.
Warga yang terbiasa hidup dalam ruang-ruang persegi pada rumah dengan luas tak kurang dari 36 meter persegi harus membiasakan diri tinggal dalam ruang-ruang tak bersudut di rumah dome.
"Waktu pertama kali bangun tidur ya kaget lihat dindingnya enggak lurus. Saya sampai bingung tidur menghadap ke arah mana," kata Hidayat (37), penghuni New Nglepen Blok D, tertawa.
Harti menambahkan, ia sempat kebingungan di awal karena rumah barunya yang relatif sempit. "Jalan sedikit ke barat atau ke timur sudah ketemu pintu," ujarnya. Dua pintu dalam rumah dome memang berhadapan lurus satu sama lain.
Dalam proses adaptasi itu, keterbatasan lahan juga menyebabkan banyak warga yang belum memindahkan keseluruhan perabotnya. "Selama listrik belum menyala, kami belum akan pindah sepenuhnya ke rumah dome," tambah Samsuri, penghuni lain.
Saat ini proses pendaftaran pemasangan listrik di tiap rumah masih berlangsung. Secara khusus, ketiadaan listrik dan beranda di rumah dome itu tak menghalangi keinginan warga untuk bersosialisasi satu sama lain. Jika biasanya bercengkerama di teras atau ruang tamu, di New Nglepen mereka berbincang santai dengan menggelar tikar di luar rumah.
Tak ada tempat untuk ternak
Proses adaptasi warga bertambah sulit ketika tidak ada lahan bagi kegiatan peternakan yang menunjang hidup mereka. Marmorejo (62), misalnya, tidak setiap hari tinggal di rumah dome. "Saya kadang-kadang saja menempati rumah dome. Kalau setiap hari tidur di situ, sapi di rumah tidak ada yang menunggu," kata Mbah Marmo yang malam itu sengaja menghabiskan waktu bersama istrinya di rumah dome yang sudah beberapa hari tak disinggahinya.
Mbah Marmo adalah warga Mbulusari, Sengir, yang sebagian rumahnya roboh saat gempa 27 Mei 2006. Karena daerah tempat tinggalnya juga rawan longsor, ia bersama warga Mbulusari lainnya direlokasi ke kawasan New Nglepen.
Seperti umumnya warga New Nglepen, selain bertani, Mbah Marmo juga mengandalkan hidupnya dari beternak sapi dan kambing. Karena itu, Mbah Marmo tak tenang meninggalkan sumber penghasilannya tanpa pengawasan.
Maklum, rumah lama Mbah Marmo letaknya sekitar dua kilometer dari New Nglepen.
Kompleks rumah dome New Nglepen dibangun atas bantuan Domes for The World bekerja sama dengan World Association Nongovernmental Organization dan Emmar Properties sejak Oktober 2006 tanpa dilengkapi kandang komunal untuk ternak warga.
Selain 71 rumah dome untuk warga, juga terdapat enam kamar mandi komunal dan fasilitas umum lain, seperti masjid dan taman bermain. Ada pula gedung untuk taman kanak-kanak dan poliklinik, tetapi saat ini kedua bangunan itu belum berfungsi. "Fasilitas yang ada saat ini sudah dirancang menjadi satu kesatuan. Kandang komunal memang tidak ada dalam perencanaan," kata Petugas Pelaksana Proyek Domes for The World Antonius Yosanto.
Mainan baru
Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Pande Made Kutanegara, mengungkapkan, apa yang dialami oleh warga New Nglepen saat ini dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk culture shock. Hidup di lingkungan baru, warga menemui budaya-budaya baru yang berbeda dengan kebiasaan-kebiasaan lama yang melekat sebagai petani Jawa yang tinggal di daerah pedesaan.
"Mau tidak mau mereka harus berhadapan dengan budaya perumahan yang berbeda dengan cara hidup di pedesaan. Karena itu mereka harus dipersiapkan, baik secara internal maupun kultural," kata Pande.
Struktur sosial seperti penentuan batas pekarangan, pemilihan pemimpin, kejelasan tentang status tanah yang ditempati, dan penyediaan sarana bagi aktivitas mereka seperti beternak harus segera dipastikan.
"Jika tidak, saya khawatir rumah dome hanya menjadi ’mainan baru’ yang saat ini masih dikagumi warga. Sama seperti pola transmigrasi lokal yang kurang mempertimbangkan faktor sosial budaya, suatu saat mereka akan kembali ke rumah lama," ungkap Pande.
Memang, di tengah rasa syukur warga menerima rumah dome, masih tertinggal sebuah proses panjang adaptasi yang terus menjadi tantangan…. (AB3)

0 comments: