Thursday, June 28, 2007

KPK Tahan Mantan Duta Besar di Malaysia

KORAN TEMPO - Kamis, 28 Juni 2007

Dalam kasus ini, KPK sudah menyita uang Rp 1 miliar dan sebuah mobil Honda Jazz dari Suparba.

JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi menahan mantan Duta Besar Indonesia di Malaysia, Hadi A. Wayarabi, dan mantan Kepala Bidang Imigrasi Kedutaan Besar Suparba Wamiarsa.
Keduanya diduga terlibat korupsi pungutan liar pengurusan dokumen keimigrasian di Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Malaysia.
"Mereka ditahan untuk kepentingan penyidikan karena dikhawatirkan melarikan diri," kata Wakil Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean di Jakarta kemarin.
Dua orang itu kini mendekam di rumah tahanan Markas Besar Kepolisian RI. Menurut Tumpak, mereka terlibat dalam penerbitan dua surat keputusan yang mengatur soal pungutan pengurusan dokumen keimigrasian pada 2000 hingga 2003. Surat bernomor 021/SK-DB/0799, 20 Juli 1999, itu mencantumkan dua tarif yang berbeda. "Yang bertarif besar sebagai dasar pemungutan dan yang kecil untuk menyetor ke negara," ujarnya.
Jumlah kerugian negara, kata Tumpak, mencapai Rp 26,59 miliar, yang dihitung dari selisih harga yang ditetapkan surat keputusan tersebut. Selain itu, KPK menemukan selisih kurs dari jumlah yang disetorkan Rp 922 juta, sehingga total kerugian negara mencapai Rp 27,5 miliar. Dalam kasus ini, KPK sudah menyita uang Rp 1 miliar dan sebuah mobil Honda Jazz dari Suparba.
Hadi Wayarabi mengaku tidak keberatan ditahan. "Karena ini bagian dari proses hukum yang berlaku dan saya menghormati proses hukum tersebut."
Dia mengakui telah menerima uang 19 ribu ringgit Malaysia (sekitar Rp 49 juta) dari Suparba dan 1.000 ringgit (sekitar Rp 26 juta) dari Arken Tarigan, Kepala Subdirektorat Imigrasi KBRI Kuala Lumpur, yang juga menjadi tersangka.
Uang itu diberikan dalam enam kesempatan selama periode dia menjabat. "Saya cuma dikasih tahu, uang ini adalah uang representasi atau uang lobi," tuturnya.
Uang itu, kata Hadi, digunakan untuk berbagai kepentingan tugas, seperti mengunjungi tenaga kerja Indonesia serta membiayai ongkos tenaga kerja dan pelajar Indonesia.
Menurut Hadi, surat ganda itu sudah ada ketika ia menerima jabatan dari wakil kepala perwakilan Warmas Saputra. "Saya tidak tahu ada surat itu. Tidak ada laporan mengenai surat tersebut, baik ketika serah-terima jabatan maupun dari bawahan saya," kata Hadi, yang menjadi duta besar pada 2000-2003.
Ia merasa telah dikelabui oleh orang-orang di sekitarnya. Hadi mendesak KPK agar mengusut keterlibatan mantan duta besar Muhammad Jacob Dasto, yang bertugas sebelum Hadi, dan mantan duta besar Rusdihardjo, yang bertugas setelah Hadi. "Jangan hanya saya."
TITO SIANIPAR

0 comments: