KOMPAS - Kamis, 28 Juni 2007
Helena F Nababan
"Kami betul-betul mesti kreatif supaya bisa memenuhi kebutuhan hidup. Sudah syukur kalau bisa mencukupi kebutuhan makan keluarga," kata Gunung Budiono (37), petambak plasma Dipasena di Provinsi Lampung.
Apa yang diutarakan Gunung, petambak di Kampung Dipasena Jaya, Kecamatan Rawajitu Timur, Tulang Bawang, Lampung, itu menggambarkan kondisi yang dihadapi ribuan keluarga petambak udang plasma PT Dipasena Citra Darmaja yang berhenti beroperasi tahun 1999.
Sejak perusahaan tambak udang windu di atas lahan 16.500 hektar dengan 9.032 petambak plasma itu menghentikan kemitraannya, petambak plasma harus bekerja lebih keras. Kini 7.673 plasma perusahaan pertambakan udang terbesar di Indonesia ini harus berusaha melakoni usaha budidaya udang sendiri, 1.359 petambak lainnya terpaksa hengkang.
Untuk bertahan hidup, petambak plasma menekuni usaha apa saja. Ada yang menjadi penggogok (mencari udang di kanal-kanal pembuangan), menjala, atau mendirikan bagan-bagan ikan di kanal. Dari pekerjaan itu petambak meraih Rp 25.000-Rp 40.000 per hari.
Selain menjadi penggogok atau penjala udang, ada pula petambak plasma yang mencoba berdagang di kampung. Sebelumnya itu tak ada karena barang kebutuhan hidup tersedia di koperasi.
Sekarang, di lingkungan Dipasena Jaya dengan mudah bisa ditemukan bengkel, pasar, hingga warung-warung kecil. "Saat kami masih aktif sebagai plasma, bentuk-bentuk usaha itu tidak ada," kata Maesaroh (35), plasma dari Blok 7 Jalur 25.
Keadaan sekarang berbeda dibanding ketika perusahaan itu masih aktif. Kejayaan petambak plasma dari perusahaan tambak udang terbesar di Indonesia itu seolah terbenam bersama kehancuran perusahaan tersebut.
Kala kilau bisnisnya masih benderang, seorang petambak plasma bisa memanen hingga lima ton udang windu per kolam (4.000 meter persegi) dalam satu musim tanam udang (empat bulan). Udang produksi Dipasena menyumbang devisa negara.
Berawal dari kredit
Kepala Kampung Dipasena Abadi Juanda KR mengatakan, pada awal masuk menjadi petambak plasma tahun 1993, dia mendapat kredit Rp 135 juta dari perusahaan.
Sesuai perjanjian, kredit itu harus lunas dalam delapan tahun. Sayang, karena hitung-hitungan perusahaan tidak jelas mengenai harga pembelian udang plasma, harga jual udang olahan, harga pakan, obat-obatan, dan ongkos-ongkos budidaya, kredit itu tak kunjung lunas.
Petambak plasma tak pernah menikmati keuntungan budidaya itu. "Semua keuntungan dikuasai perusahaan," kata Gunung.
Keresahan itu mulai muncul dalam bentuk unjuk rasa petambak tahun 1995. Mereka menuntut agar perusahaan menaikkan biaya hidup bulanan petambak (BHBP) dari Rp 125.000 menjadi Rp 175.000 per bulan. "Tanpa basa-basi, perusahaan menyanggupi. Seharusnya, kalau BHBP pun masuk dalam hitungan kredit yang harus dibayarkan petambak plasma, perusahaan akan menghitung, tetapi ini tidak," kata Juanda.
Perusahaan tampaknya tidak peduli dengan beban yang harus dibayarkan plasma. Tahun 1999 petambak kembali mempertanyakan masalah kemitraan dan kredit mereka. Kini mereka tak hanya menuntut kenaikan BHBP, tetapi juga menuntut penjelasan rincian biaya produksi plasma, cara penentuan harga beli dan harga jual udang, harga benur, pakan, harga listrik, dan biaya-biaya tak terduga.
Keresahan itu berbuntut pecahnya kerusuhan di lokasi perusahaan hingga ada petambak plasma dan karyawan perusahaan yang tewas. Dipasena akhirnya menghentikan pola kemitraan plasma-inti pada 1999.
Setelah pecah kongsi, keadaan makin buruk. Kolam dan kanal menjadi dangkal akibat sedimentasi. Kerang-kerang yang tidak seharusnya ada di kanal atau kolam menempel di mana-mana. Banyak kincir angin rusak, air keruh, tidak sesuai standar budidaya udang.
Di tengah kondisi mengenaskan itulah 7.673 petambak plasma masih tetap bertahan hidup dengan menekuni budidaya udang, sambil terus bekerja mencari penghasilan tambahan agar bisa bertahan hidup.
Masa 14 tahun membuat mereka merasa sudah menyatu dengan usaha tambak udang itu. Kalaupun keluar dari lokasi, di usia yang sudah semakin tua pekerjaan apalagi yang bisa mereka dapatkan di luar sana?
Ketika Konsorsium Neptune masuk dan ditetapkan pemerintah sebagai pemenang tender pembelian aset PT Dipasena Citra Darmaja, 25 Mei 2007, petambak plasma pun kembali berbunga-bunga. Sayang, pola kemitraan dan program revitalisasi belum begitu jelas.
Pertanyaannya kini, bisakah Konsorsium Neptune menghidupkan kembali harapan dan semangat plasma untuk bersama membangun kembali usaha raksasa itu, tidak sekadar bertahan untuk menyambung hidup...?
Thursday, June 28, 2007
Petambak Dipasena: Harus Kreatif untuk Bertahan Hidup
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:50 AM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment