BISNIS - Senin, 02/07/2007
Hari ini, sejumlah petinggi dan mantan pejabat kementerian keuangan atau bidang yang terkait dengan sektor finansial dari Asia, dijadwalkan bertemu di markas besar Bank Pembangunan Asia (ADB), Manila, Filipina, untuk memperingati 10 tahun berakhirnya krisis keuangan Asia. Mereka yang akan hadir dalam panel itu a.l. Menteri Keuangan Thailand Chalongphob Sussangkarn, Gubernur Bank Negara Malaysia Zeti Akhtar Aziz, Mantan Menteri Perdagangan, Industri dan Energi Korsel Duck-Koo Chung, mantan Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, dan Mantan Menkeu Filipina Roberto de Ocampo.Seperti dimaklumi, 2 Juli 1997 adalah peristiwa saat Thailand mengambangkan nilai tukar mata uangnya untuk menghentikan aliran modal. Jatuhnya baht itu merembet ke negara-negara tetangga seperti Malaysia, Indonesia, Filipina, dan Korea Selatan.Dalam pertemuan kali ini, tentu saja para pembuat kebijakan di negara-negara yang terkena krisis bukan hendak sekadar bereuni. Mereka berkumpul untuk mencari jalan bagaimana mengubah krisis ekonomi menjadi suatu kesempatan yang mengantarkan negaranya pada reformasi ekonomi yang berani. Mungkinkah?Dana agresifPertemuan tersebut sangat relevan. Sebab, bulan ini genap memasuki 10 tahun krisis keuangan Asia, di mana pada saat bersamaan, negara-negara di emerging markets tengah membicarakan kembali risiko banjir dana-dana asing, terutama dana-dana agresif atau kerap disebut 'uang panas' (hot money). Indonesia juga kebagian arus deras dana-dana tersebut, terutama terkonsentrasi pada investasi portofolio. Kenyataan menunjukkan bahwa data proksi aliran modal asing menggunakan data transaksi spot menunjukkan kenaikan aliran modal asing netto yang cukup tajam (lihat grafik 1). Jika ditelaah lebih jauh, peningkatan aktivitas yang luar biasa di sektor finansial karena antara lain: adanya imbas kelebihan likuiditas global, membaiknya risk appetite dalam investasi, penggolongan strategi diversifikasi portofolio para investor global. Selain itu, suku bunga di negara berkembang masih dinilai tinggi, sehingga mendorong investor global melakukan carry trade. Ditambah lagi, berlanjutnya proses konvergensi suku bunga di negara maju dan negara berkembang telah mendorong semakin gencarnya investasi sektor finansial pada surat utang. Akibatnya, secara pukul rata investasi di sektor finansial semakin marak, sehingga terdapat aliran modal asing netto yang mengalami lonjakan hebat tersebut. Agresivitas modal asing yang sangat kuat tahun ini menjadi wajar jika kemudian menimbulkan kekhawatiran banyak pihak, terutama dipicu oleh kondisi pasar finansial di China. Di pasar saham, terjadi kekhawatiran yang cukup mendalam, karena tingginya integrasi pasar saham regional, terutama jika dilihat dari kenaikan harga saham yang cukup tinggi, namun tidak dicerminkan sesungguhnya oleh kondisi fundamental emiten. Dengan kata lain, price earning ratio saham di Indonesia sudah cukup tinggi dibandingkan dengan negara lain, yaitu 21,7, sedangkan China (40), Malaysia (17,1), Korea Selatan (16,11), Filipina (15,7), Singapura, dan Thailand masing-masing 14% . Akibatnya, banyak pelaku ekonomi sinis dan khawatir, karena aliran dana netto asing masih berbasis pada investasi portofolio (Grafik 2 dan 3) dan masih sangat jauh jika dibandingkan dengan investasi riil yang kini dianggap sebagai satu variabel yang dapat melestarikan pertumbuhan ekonomi. Karena itu, jika terjadi penarikan dana besar-besaran, maka diperkirakan akan terjadi goncangan ekonomi. Namun, kekhawatiran itu kiranya tidak begitu mendasar jika menilik kenyataan data historis bahwa saat ini di pasar saham masih terdapat transaksi pembelian netto oleh investor asing, sedangkan Sertifikat Bank Indonesia dan surat utang negara pada posisi Maret 2007 menunjukkan total outstanding kedua instrumen itu adalah US$9 miliar dan terdapat reversal US$420 juta. Ini merupakan posisi yang masih cukup aman.Sekadar mengingatkan, target pencapaian perbaikan ekonomi pada 2007 berada di rel dengan adanya keseimbangan antara eksternal dan kekuatan permintaan domestik. Fiskal kuatKondisi ini dito-pang oleh suku bu-nga yang rendah, fiskal yang kuat, pertumbuhan investasi 10%, dan pertumbuhan konsumsi rumah tangga mengalami perbaikan menjadi 4,2% dari posisi sebelumnya 3,2%. Kontribusi nett ekspor turun akibat meningkatnya impor barang kebutuhan modal seiring dengan peningkatan investasi. Akibatnya, posisi current account surplus 1,9% dari PDB tahun ini. Jika dilihat perbedaan kondisi 10 tahun, dari krisis 1997 dan 2007, maka terdapat fundamental yang berbeda: tingkat inflasi tahunan pada masa krisis hampir 60%, sementara saat ini hanya 6,3%. Perbandingan utang dan produk domestik bruto ketika krisis adalah 150% dan saat ini cukup 34%. Bandingkan utang jangka pendek dan cadangan saat krisis 138% dan sekarang 44%. Pada saat krisis, kredit hanya dikoordinasikan oleh IMF, kini sudah terdapat bilateral swap dengan Jepang (US$6 miliar), China (US$4 miliar), Korea Selatan (US$2 miliar), dan negara-negara Asean (US$10 miliar). Cadangan devisa Indonesia juga sudah mencapai US$50 miliar, rupiah relatif stabil pada kisaran Rp8.850-Rp9.400 per dolar AS. Secara pukul rata, ekspansi perekonomian diperkirakan berlanjut hingga kuartal II/2007 dengan dukungan ekspor dan konsumsi swasta, sehingga diproyeksikan akan terjadi peningkatan utilisasi kapasitas manufaktur dengan membaiknya impor barang baku dan barang modal (Grafik 4). Secara garis besar, fundamental ekonomi Indonesia memang berada di rel yang benar. Pemerintah pun sudah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi untuk menggerakkan perekonomian dan menjinakkan modal asing yang masuk dengan deras itu. Alternatif penarikan pajak transaksi saham dan pelarangan pembelian SBI oleh investor asing, jelas tidak akan dilakukan, karena dikhawatirkan akan memberikan tekanan kuat pada minat asing. Tetapi janji-janji perbaikan hukum dan birokrasi masih tidak mudah diterapkan. Menyusul paket ekonomi dalam Inpres 6/2007, masih perlu dilakukan upaya khusus dalam rangka terus menangkap modal asing, antara lain:Pertama, mempercepat pengembangan pasar uang domestik sebagai alternatif diversifikasi investasi dengan menyiapkan infrastruktur perdagangan yang memadai serta ketentuan hukum yang mendukung.Kedua, mewajibkan lindung nilai guna mengurangi daya tarik imbal hasil bagi investor asing. Hal ini akan berpotensi mengurangi pasokan valas dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang dapat mengerem investasi spekulatif. Ketiga, memperbaiki iklim investasi sehingga pemodal asing segera merealisasikan investasi di sektor riil. Keempat, memberdayakan potensi dana lokal dan investor lokal. Kita tidak perlu panik. Yang penting adalah menyiapkan berbagai langkah jitu dan cespleng.
(rofikoh.rokhim@bisnis. co.id)
Oleh Rofikoh Rokhim
Ekonom Bisnis Indonesia
Monday, July 02, 2007
10 Tahun krisis & risiko modal spekulatif
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:16 AM
Labels: HeadlineNews: Bisnis
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment