KOMPAS - Senin, 02 Juli 2007
Di jurnal Bulletin of Indonesian Economic Studies ada sebuah risalah yang galau tentang Indonesia. Seperti ini kira-kira kutipannya: "Negara bangkrut karena utang luar negeri…. Kekurangan impor bahan baku dan faktor lain telah mengakibatkan menurunnya kapasitas produksi. Angkutan laut, kereta api, dan angkutan darat serta jasa publik lainnya semakin memburuk akibat terbatasnya sarana dan kesulitan menjalankan operasinya. Korupsi yang merajalela membuat sistem tak berjalan. Hukum tidak ditaati."
Rasanya kita begitu akrab dengan analisis tersebut. Kutipan tadi bukan analisis ekonomi Indonesia tahun 2007. Kutipan itu diambil dari risalah yang ditulis HW Arndt dan J Panglaykim tentang ekonomi Indonesia pada tahun 1966. Yang menarik, problem dan pesimismenya mirip dengan pesimisme kita saat ini. Sejarah memang kerap berulang. Kita pun mengeluhkan hal-hal di atas. Tentunya pada tingkat yang berbeda.
Dari sisi makro terlihat kecenderungan membaiknya perekonomian. Beberapa indikator menunjukkan perekonomian sudah menyentuh titik terendahnya dalam triwulan I-2006 dan setelah itu terus meningkat. Hal ini konsisten dengan beberapa indikator, seperti pertumbuhan penjualan motor, ritel, semen, konsumsi listrik, dan mobil.
Angka pengangguran terbuka juga sedikit menurun dari 10,4 persen (Februari 2006) menjadi 9,75 persen (Februari 2007). Impor bahan baku tumbuh 16 persen dalam periode Januari-April 2007 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Artinya, proses produksi terjadi. Namun, impor barang modal masih relatif lambat. Ini menunjukkan proses produksi masih menggunakan kelebihan kapasitas terpasang yang ada sejak tahun lalu—dan sedikit investasi baru. Implikasinya, pertumbuhan ekonomi masih akan didorong konsumsi dan ekspor, belum banyak oleh investasi. Dengan kondisi ini, pertumbuhan ekonomi memang akan berada di atas 6 persen dalam tahun 2007, tetapi tidak mudah untuk mencapai pertumbuhan 6,3 persen. Perekonomian memang terus bertumbuh walau masih relatif lambat.
Iklim investasi, isu yang selalu dipersalahkan, terutama di sektor industri manufaktur dan pertambangan. Itu sebabnya, investasi bergeser dari sektor tradable (sektor yang terkait ekspor dan impor, seperti manufaktur) pada sektor non-tradable (sektor yang tak terkait ekspor dan impor, seperti jasa, telekomunikasi, dan perdagangan). Namun, argumen iklim investasi yang buruk hanya menjelaskan sebagian dari keseluruhan persoalan. Kalau benar lemahnya investasi disebabkan buruknya iklim investasi, mengapa hal yang sama terjadi juga di Malaysia, Thailand, Korea Selatan, dan Jepang? Bukankah keempat negara itu memiliki iklim investasi dan infrastruktur yang baik? Lebih menarik lagi, ternyata rasio investasi terhadap PDB di Malaysia (21 persen) lebih rendah dibandingkan Indonesia (24 persen). Padahal, Malaysia memiliki iklim investasi yang lebih baik dibanding Indonesia, China, atau Vietnam. Karena itu, kita tak bisa melihat iklim investasi sebagai penjelas utama. Iklim investasi hanyalah sebuah syarat perlu dan bukan syarat cukup. Di sini kita harus melihat isu investasi ini dengan hati-hati.
Berbeda dari persepsi selama ini, perhitungan dekomposisi mengenai sumber penurunan investasi yang dilakukan Bank Dunia (2007) menunjukkan penurunan investasi di Indonesia, Korea Selatan, dan Malaysia ternyata lebih didominasi penurunan investasi swasta dan domestik. Padahal, selama ini kita menganggap isu yang paling penting adalah bagaimana membuat investor asing berminat datang ke Indonesia. Tentu ini sesuatu yang baik, tetapi tak akan menyelesaikan semua persoalan. Karena soalnya lebih pada investasi domestik, baik publik maupun swasta. Penyelesaian soalnya, bagaimana meningkatkan investasi domestik.
Kita melihat investasi berubah pola dari investasi langsung ke merger dan akuisisi sehingga dampak riilnya tidak tecermin dalam investasi fisik. Ini tidak hanya khas Indonesia, tetapi juga terjadi di Jepang, misalnya. Dalam konferensi di National Bureau of Economic Research tahun lalu, disimpulkan, merger dan akuisisi di Jepang berdampak positif terhadap peningkatan produktivitas.
Bagaimana buat Indonesia? Studi Arnold dan Beata (2005) menunjukkan, dampaknya positif. Jika benar begitu, mungkin sekali dengan rasio investasi/ PDB yang lebih rendah dapat dihasilkan pertumbuhan yang lebih tinggi. Benarkah? Dalam kasus Malaysia, perekonomian tumbuh di atas 5 persen sejak tahun 2002, walau dengan tingkat investasi lebih rendah. Malaysia mungkin memiliki produktivitas yang relatif tinggi. Keterlibatan Malaysia dalam jaringan produksi juga memungkinkan mereka menghasilkan ekspor yang kuat sehingga walau dengan investasi yang relatif kecil karena proses outsourcing, ekspor tetap bisa meningkat tajam. Sayangnya, Indonesia tertinggal dalam konteks ini. Dengan produktivitas rendah, tetap dibutuhkan investasi besar. Artinya, penurunan investasi domestik harus diatasi.
Juga perlu "credit channel"
Selain karena iklim investasi, penurunan investasi swasta domestik juga dapat disebabkan terganggunya credit channel (aliran kredit) perbankan ke sektor barang, sementara penurunan investasi publik berkaitan erat dengan belanja modal pemerintah. Perbaikan iklim investasi mungkin sebuah syarat perlu. Namun, perbaikan iklim investasi saja, tanpa perbaikan aliran kredit, takkan meningkatkan investasi. Kalau begitu, turunkan saja tingkat bunga kredit seperti desakan pelbagai pihak. Di sini kita harus hati-hati. Perbaikan dalam intermediasi perbankan tak dapat dilakukan melulu melalui penurunan tingkat bunga. Ada beberapa hal harus diperhatikan.
Pertama, pertumbuhan ekonomi yang masih terbatas, bukanlah karena lemahnya sisi permintaan, tetapi lebih akibat kendala sisi penawaran, seperti jalan, listrik, pelabuhan, dan kekakuan aturan ketenagakerjaan. Penurunan tingkat bunga dalam jangka pendek hanya akan mendorong sisi permintaan. Penurunan bunga terlalu agresif dapat mengerek inflasi akibat masih terbatasnya sisi penawaran.
Kedua, terhambatnya penyaluran kredit lebih disebabkan kondisi informasi yang tak simetris antara sektor produksi dan perbankan. Perbankan menganggap risiko di sektor riil masih tinggi. Dalam situasi ini, perbankan harus memasukkan biaya risiko dalam tingkat bunga pinjamannya (Stiglitz-Weiss, 1981), akibatnya tingkat bunga pinjaman tetap tinggi walau BI Rate diturunkan. Informasi yang tak simetris memaksa perbankan menerapkan biaya pengawasan yang tinggi. Akibat dari agency cost problem ini, kredit sulit mengalir walau tingkat bunga diturunkan.
Apa yang harus dilakukan? Di sinilah pentingnya peran kredit biro untuk menjembatani informasi yang tak simetris antara bank dan sektor produksi. Tanpa itu, risiko dan agency cost problem tak akan menurun.
Bagaimana investasi publik? Peran belanja pemerintah untuk infrastruktur dan program public private partnership menjadi penting. Sayangnya, belanja pemerintah masih rendah karena beberapa hal, termasuk perubahan sistem anggaran, juga rumitnya proses tender. Ada harapan, anggaran pemerintah akan mendorong pertumbuhan. Dalam konteks ini, menarik untuk melihat apakah perubahan defisit APBN dari sebelumnya 1,1 persen menjadi 1,6 persen terhadap produk domestik bruto akan menolong. Secara tak langsung, peningkatan defisit ini akan mendorong ekspansi anggaran. Tentunya, ekspansi ini difokuskan untuk mengatasi hambatan sisi penawaran.
Pertumbuhan ekonomi sudah mulai meningkat. Prospek semester II juga memberikan harapan baik. Namun, pertumbuhan ekonomi rasanya masih sulit untuk mencapai tingkat yang diharapkan jika masalah aliran kredit, lemahnya masalah infrastruktur, dan kekakuan aturan ketenagakerjaan tak terselesaikan. Indonesia tahun 2007 jelas tak segalau tulisan Arndt dan Panglaykim, 41 tahun lalu, tetapi bukan berarti persoalan serius tak lagi menghadang kita.
Monday, July 02, 2007
Investasi, Domestik Soalnya
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:43 AM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment