Monday, July 02, 2007

Fenomena sosial: Tragedi Bunuh Diri di Kalangan Siswa

KOMPAS - Senin, 02 Juli 2007

Defri Werdiono

Sambil terisak, beberapa perempuan berkerudung yang sebagian besar berusia setengah baya itu memandikan jenazah EA (17) yang terbujur kaku, di dalam sebuah bilik khusus berdinding dari bentangan empat lembar kain batik.
Puluhan pelayat yang datang sejak tengah hari, juga masih setia menunggu. Mereka duduk menyebar, ada yang di bawah tenda, pepohonan, dan kayu-kayu rangka bekas rumah yang rusak oleh gempa bumi 27 Mei 2006. Di salah satu sudut pekarangan yang lain, sebagian lelaki sibuk mempersiapkan segala peralatan untuk pemakaman.
Suasana duka begitu terasa di rumah Karto Tumiran (80-an), warga Dusun Pugeran, Patuk, Gunung Kidul, Provinsi DI Yogyakarta, Sabtu (30/6) sore. Lantunan ayat suci yang terdengar dari sebuah pemutar tape memecahkan kesunyian kawasan pegunungan yang berjarak sekitar 17 kilometer arah timur Kota Yogyakarta.
Kabar meninggalnya EA, siswi kelas II sebuah SMK negeri di Kota Yogyakarta, cukup menggemparkan. Tubuh gadis itu ditemukan kakeknya, Karto Tumiran, sekitar pukul 10.00, dalam keadaan tergantung pada kerangka pintu rumahnya.
Belum jelas apa yang melatarbelakangi EA mengakhiri hidup. Pihak keluarga menduga ia tengah mengalami masalah yang sulit dipecahkannya sendirian. "Selama ini ia tidak pernah menceritakan masalahnya," ujar Haryadi Rahayu, salah satu paman EA.
Haryadi menolak jika masalah ekonomi diduga menjadi pemicu tindakan nekat tersebut. Demikian pula mengenai isu yang sempat beredar bahwa EA tidak naik kelas. "Uang sekolah selalu lunas, tidak pernah nunggak. Demikian pula soal prestasi. EA tergolong pandai," katanya.
Yulia, salah satu teman EA, mengatakan, kawannya itu memang agak tertutup untuk membicarakan masalah yang tengah dihadapi. "Ia tidak pernah cerita, kecuali semester lalu pernah bilang punya cowok," kata Yulia.
Tidak jelas benar apakah sifat tertutup itu karena EA terpaksa tinggal bersama kakek-neneknya dalam setahun terakhir. Kedua orangtua dan adiknya telah meninggal dunia akibat sakit. Untuk tidur sehari-hari, ia menempati rumah baru yang dibangun dari bantuan dana rekonstruksi pemerintah. Rumah satunya lagi yang berdinding anyaman bambu dipakai untuk memasak.
Makin banyak
Terlepas apa motif yang melatarbelakangi tindakan nekat EA, peristiwa itu telah menambah panjang daftar kasus bunuh diri di kalangan siswa sekolah. Di Gunung Kidul sendiri, peristiwa ini adalah yang kedua dalam dua bulan terakhir.
Tanggal 22 Mei lalu, NES (14), siswa kelas II salah satu SMP swasta di Kecamatan Playen, juga mencoba bunuh diri, tetapi akhirnya bisa diselamatkan. Ia mengambil tindakan tersebut karena malu belum melunasi uang pembayaran piknik ke Cilacap, Jawa Tengah, yang menjadi program sekolah.
Pujiantini (40), ibu kandung NES yang selama ini membesarkan sendiri anaknya itu, membenarkan bahwa NES belum membayar uang piknik sebesar Rp 155.000. NES sendiri sempat dipanggil pihak sekolah untuk mengonfirmasi jadi-tidaknya ia ikut piknik.
Terhadap masalah ini, pihak sekolah menyatakan tidak mengejar-ngejar siswa agar lekas membayar.
Jika dirunut ke belakang, dalam dua tahun terakhir, setidaknya tercatat lima kali kasus bunuh diri di kalangan siswa di Gunung Kidul. Februari 2006, MS (16), siswa kelas I sebuah SMK swasta di Kecamatan Karangmojo, mengakhiri hidup lantaran depresi.
Tiga bulan sebelumnya AA (10), siswa kelas IV SD di Kecamatan Playen, mengakhiri hidup dengan cara gantung diri. Menurut keluarga, gadis kecil itu mengakhiri hidup karena seragam pramuka yang akan dipakainya ke sekolah basah lantaran dicuci.
AA merupakan pelaku bunuh diri termuda dalam beberapa tahun terakhir.
Pengamat pendidikan Darmaningtyas berpendapat, maraknya kasus bunuh diri di kalangan anak muda ataupun siswa salah satunya disebabkan oleh pemberitaan di media massa.
Di luar korelasi media, menurut Darmaningtyas, bunuh diri lebih banyak disebabkan masalah ekonomi dan psikologi. Ada pengaruh tekanan hidup sehari-hari maupun lingkungan sekolah di mana mereka belajar. Mungkin pelaku tidak memiliki teman, sedang di sisi yang lain orangtuanya tidak bisa diajak mencurahkan perasaan karena tingkat pendidikannya rendah ataupun ketiadaan waktu akibat terlilit masalah ekonomi.
Mengenai kenapa fenomena ini sering terjadi di Gunung Kidul, penulis buku Pulung Gantung, Menyikap Tragedi Bunuh Diri di Gunung Kidul ini tidak membenarkannya. Sebab, kasus serupa juga terjadi di daerah lain. Di Jakarta dan sekitarnya, misalnya, kasus semacam ini juga cukup tinggi dua tahun terakhir.

0 comments: