Monday, July 02, 2007

Kinerja Kepolisian: Kultur Kekerasan Harus Dihilangkan

KOMPAS - Senin, 02 Juli 2007

Jakarta, Kompas - Ketua Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Ichlasul Amal, mengingatkan, prestasi polisi dilihat dari sejauh mana kulturnya kini benar-benar lepas dari militer. Dalam prosedur tetap yang dipakai kepolisian, kultur kekerasan harus dihilangkan.
"Misalnya, menangkap penjahat lalu digebuki. Sejauh mana itu berkurang, itu baru disebut prestasi. Kalau menangkap teroris itu kan kejadian insidental," ungkap Ichlasul di Yogyakarta, Minggu (1/7). Ini disampaikan menyambut Hari Bhayangkara, 1 Juli.
Secara terpisah, kriminolog dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Yesmil Anwar mengatakan, sejak berpisah dari TNI, Polri memiliki banyak kesempatan untuk berubah. Sekarang mereka masuk era profesionalisasi polisi.
"Batu uji pertama adalah menjadi komponen supremasi hukum. Kedua, bekerja dalam konteks hak asasi manusia. Ketiga, menjadi pendorong demokrasi," ujar Yesmil.
Menurut Yesmil, kesejahteraan polisi memang perlu ditingkatkan, tetapi perbaikan mental dan integritas polisi jauh lebih utama. Berapa pun besar gaji polisi, kalau mentalnya rusak, tetap tak dapat bekerja maksimal.
Namun, lanjut Yesmil, upaya polisi memperbaiki diri itu perlu didukung masyarakat. Jika warga masih suka menyogok polisi untuk mempermudah mencapai kepentingannya, polisi sulit memperbaiki diri dan citranya.
Namun, dosen Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia Jakarta Bambang Widodo Umar mengingatkan, peningkatan profesionalisme polisi sulit dilakukan jika sistem manajerialnya masih memakai sistem komando, seperti militer. Pola itu membuat kebutuhan polisi di daerah yang berbeda-beda tidak terpenuhi.
Kriminolog Adrianus Meliala menambahkan, polisi lebih baik menyubkontrakkan sebagian kewenangannya pada lembaga lain. Dengan cara ini, polisi masih memiliki kendali atas kegiatannya, namun tidak menanganinya, dan bisa fokus pada peningkatan profesionalisme. (wer/mzw/mhf)

0 comments: