KORAN TEMPO - Selasa, 05 Juni 2007
Hanya petai cina dan mangga yang bisa bertahan di tanah tandus itu. Tapi panennya lama.
Jangan bayangkan Desa Alas Tlogo seindah namanya. Alas Tlogo berarti hutan dan telaga. Tapi Alas Tlogo ini bukanlah tanah yang hijau dan teduh penuh pepohonan. Kampung itu bukan pula kampung subur makmur seperti ungkapan dalam bahasa Jawa ijo royo-royo, gemah ripah loh jinawi. Tanah di desa yang terletak di Kabupaten Pasuruan itu tandus. Hanya petai cina dan mangga yang bisa bertahan di tanah tandus itu. Tapi panennya lama.
Walhasil, 4.000 penduduk desa seluas 553 hektare ini hidup dalam kekurangan. "Meski hidup kami susah, tanah itu tetap penting. Kami tetap akan mengolahnya," ujar Imam Supnadi, sang kepala desa.
Pada Januari sampai April warga menanam jagung. Setelah itu, warga beralih menanam singkong dan ubi jalar. Tapi tetap saja hasilnya jauh dari cukup. Dari seperempat hektare tanaman singkong, misalnya, maksimal bisa dipanen 1 ton, yang kemudian laku dijual Rp 2.000 per kilogram. "Walau dapat Rp 2 juta, uangnya tetap tidak cukup buat biaya hidup empat sampai lima bulan," kata Imam.
Lantaran penghasilan yang sangat minim, hampir semua warga yang kebanyakan lulusan sekolah dasar itu kemudian mencari kerja tambahan secara serabutan. Mereka kebanyakan menjadi buruh tani dan kuli bangunan. Kalau sedang musim panen tebu, banyak warga yang menjadi kuli tebang tebu di Pabrik Gula Kedawung, dengan upah Rp 10 ribu per hari. Pulangnya mereka dibolehkan membawa daun tebu untuk dijual kepada pemilik sapi.
Ketandusan yang mengakibatkan kemiskinan itu bukan bawaan alam kawasan itu. Dulu, pada 1930, konon seseorang bernama Pujug Panon, yang merupakan nenek moyang warga, datang ke sana dan membabat hutan dengan telaga yang tak kunjung kering meski di musim kemarau. Letaknya diyakini oleh warga di ujung jalan desa, yang menjadi tempat penembakan. "Makam beliau ada di Desa Tampung (Kecamatan Lekok)," kata Imam. "Untuk menghormati leluhur kami itu, kami masih rajin mengadakan pengajian setiap malam Jumat Legi."
Bukan hanya kuburan itu yang dikeramatkan, tapi juga pesarean yang diyakini sebagai tempat bertapanya Bung Karno. "Letaknya, ya, dekat TKP itu. Jadi kami ini bertahan pada pendirian, bukan hanya karena punya bukti kepemilikan tanah, tapi kami juga punya sejarah yang penting dipertahankan," ujar Imam.
Untuk menghormatinya, setiap tahun warga melakukan kegiatan bersih-bersih desa dan mengaji di depan pesarean. Pantangan pun diberlakukan. Warga yang mencabut atau menebang pohon di sekitar pesarean Bung Karno, biasanya langsung terserang demam. Begitu pula jika mencabuti dan menebang tanaman sembarangan di sekitar makam Pujug Panon di Desa Tampung, Kecamatan Lekok.
ABDI PURMONO
Tuesday, June 05, 2007
Di Alas Tlogo Bung Karno Bertapa
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:27 AM
Labels: HeadlineNews:KoranTempo
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment