KOMPAS - Selasa, 05 Juni 2007
Pengantar Redaksi
Bengawan Solo. Sungai legendaris dengan panjang 527 km kini dalam kondisi rusak akibat sedimentasi dan pencemaran. Berkaitan dengan itu, "Kompas" menyelenggarakan ekspedisi menyusuri sungai terpanjang di Jawa itu, 5-19 Juni. Rencananya, Gubernur Jateng Mardiyanto akan membuka ekspedisi ini, Sabtu (9/6).
***
Subur Tjahjono
Mata airmu dari Solo
Terkurung Gunung Seribu
Air mengalir sampai jauh
Akhirnya ke laut
Ingatan Gesang Martohartono (90) tentang proses penciptaan lagu Bengawan Solo masih jernih. Sejak awal ia menyadari bahwa hulu Bengawan Solo memang berada di Kabupaten Wonogiri, bukan di Kota Solo seperti tertulis pada lirik lagunya. Ia juga masih ingat bahwa mata air atau tuk Bengawan Solo itu berasal dari Gunung Sewu atau Pegunungan Seribu di Wonogiri.
"Namun, Gunung Sewu itu kan masuk daerah eks Karesidenan Surakarta," ujar Gesang ketika ditemui Tim Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007 di rumahnya di Jalan Bedoyo 5, Solo, Jawa Tengah, pertengahan Mei lalu.
"Itu ceritanya di Gunung Sewu ada tuk cilik-cilik. Berliku-liku menuju Sukoharjo, Solo, terus ke Gresik dan Selat Madura. Panjangnya 300 kilometer," ujar Gesang yang menciptakan lagunya pada tahun 1940 selama enam bulan.
Gesang bercerita, sebelum lagu Bengawan Solo diciptakan, sungai terbesar dan terpanjang di Pulau Jawa itu sudah terkenal, bahkan mungkin sejak ribuan tahun lalu. Dari orangtuanya Gesang mendapat cerita, sungai itu menjadi jalur perdagangan. Di tepinya ada bandar, tepatnya di Kampung Sewu, Solo. "Dulu tempat berlabuh kapal-kapal karena tempatnya besar," tuturnya.
Sudah menjadi cerita dari dulu kalau di musim kemarau sungai itu kering dan pada musim hujan menyebabkan banjir. Dulu airnya sedikit bening, sekarang sudah coklat karena banyak pabrik dan hutan gundul.
Cerita Gesang itu benar. Kini sungai itu telah rusak. Hasil survei Kompas selama 15 hari pada bulan April lalu menunjukkan, kerusakan sungai tersebut terjadi sejak dari hulunya. Saat itu Bengawan Solo sedang meluap dan menyebabkan banjir di Sragen, Ngawi, serta Bojonegoro. Saat-saat ini sungai itu mulai surut. Warga di sekitar jembatan Pakem, Wonogiri, misalnya, mulai mengambil pasir yang "muncul" di permukaan sungai.
Apa yang disebut hulu Bengawan Solo sebetulnya merupakan gabungan dua kali kecil, yakni Kali Tenggar dan Kali Muning di Desa Jeblogan, Kecamatan Karang Tengah, Kabupaten Wonogiri. Wilayah itu berada di kawasan Pegunungan Seribu (Gunung Sewu) yang berbatasan dengan Kabupaten Pacitan, Jatim.
Hasil penghitungan berdasarkan survei yang dibantu dengan perangkat global positioning system (GPS) menunjukkan panjang sungai itu 527 kilometer. "Lha kolo rumiyin 300 kilometer niku inggih karangan (Dulu angka 300 kilometer itu ya cuma perkiraan)," ujar Gesang, mengomentari ketidakakuratan panjang sungai itu.
Salah satu penyebab kerusakan adalah kurangnya vegetasi tanaman keras untuk menangkal erosi di hulu. Warga di tepi hulu sungai memanfaatkan bantaran untuk pertanian, seperti kacang, jagung atau ketela pohon. Pada musim hujan tanah itu longsor dan masuk ke sungai.
"Kalau musim kemarau, sungai itu agak jernih. Pada musim hujan tanah-tanah tegalan longsor ke sungai," ujar Kepala Desa Jeblogan Suyatno.
Longsoran tanah menyebabkan sedimentasi terjadi di sepanjang 527 kilometer sungai, dari Wonogiri, Sukoharjo, Solo, Sragen, Ngawi, Blora, Bojonegoro, Lamongan, dan Gresik. Sedimentasi menyebabkan Bendungan Serbaguna Wonogiri, lebih dikenal sebagai Waduk Gajah Mungkur, kurang berfungsi optimal untuk menggerakkan turbin Pembangkit Listrik Tenaga Air Gajah Mungkur.
Selain sedimentasi, pencemaran sungai juga parah. Ia menjadi tempat sampah raksasa, baik sampah domestik hingga limbah pabrik. Sepanjang perjalanan, terutama wilayah Bengawan Solo yang membelah Kota Solo, berbagai jenis sampah dibuang. Jenis sampah itu mulai dari plastik sehingga pohon-pohon di tepi sungai menjadi seperti kapstok gantungan sampah-sampah plastik. Bahkan tikar, bantal, dan kasur juga dibuang ke sungai.
Berbagai jenis bangkai, mulai dari ayam, anjing, kucing, hingga kambing, juga dibuang ke sungai. Sejumlah peternakan babi juga membuang limbahnya ke sungai. Selain warga yang membuat jamban di sepanjang sungai, perusahaan penguras tinja manusia juga melengkapi tercemarnya sungai dengan membuangnya ke Bengawan Solo. Limbah pabrik, terutama garmen dan tapioka, dibuang begitu saja ke sungai. Baunya busuk sekali.
Padahal air Bengawan Solo menjadi bahan baku sejumlah instalasi perusahaan daerah air minum di kota-kota yang dilalui. Paling tidak Kota Solo, Cepu, dan Bojonegoro terlihat menyedot air Bengawan Solo untuk bahan baku air minum.
Selain air minum, muara Bengawan Solo di Desa Pangkah Wetan, Kecamatan Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, terancam oleh tercemarnya sungai tersebut.
Selain airnya, warga juga memanfaatkan pasir yang berada di dasar sungai, mulai dengan cara tradisional dengan menyelam hingga menggunakan mesin dengan menyedot pasir ke tepi sungai. Warga juga memanfaatkan lumpur atau walet untuk bahan baku batu bata. Namun, teknologinya masih sederhana, yaitu menampung lumpur melalui petak-petak kecil di tepi sungai. Lumpur yang mengendap setelah banjir itu dicampur dengan kulit padi atau brambut sebelum diolah menjadi batu bata.
Di sepanjang aliran, perahu masih banyak digunakan, tetapi hanya untuk membantu penyeberangan. Penumpangnya tak hanya warga dan barang-barang, tetapi juga sepeda motor.
Berkenaan dengan berbagai masalah tersebut, harian Kompas menyelenggarakan kegiatan "Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007". Dengan kegiatan itu, Kompas yang didukung sejumlah lembaga pencinta lingkungan ingin ikut membantu meningkatkan kesadaran masyarakat di sekitar sungai tentang perlunya penyelamatan sungai. Sungai itu sangat vital untuk berlangsungnya kehidupan. Oleh karena itu, tema ekspedisi ini adalah "Bengawan Solo untuk Kehidupan".
Untuk mengarungi sungai, Kompas bekerja sama dengan Pangkalan Marinir Surabaya yang menyumbangkan dua perahu karetnya beserta sejumlah personel Marinir yang menyertainya. Kerja sama juga dilakukan dengan Eka Tjipta Foundation dan Jababeka Home of Presiden University yang memberi komitmen pada pelestarian lingkungan.
Selain peliputan, kegiatan yang dilakukan adalah penelitian dengan mengikutsertakan ahli arkeologi sungai dari Universitas Negeri Malang, Jawa Timur, Dwi Cahyono. Ia akan meneliti berbagai aspek sejarah dan arkeologis, dari hulu hingga hilir.
Ada pula tim ahli ekologi sungai dari Universitas Sebelas Maret Surakarta yang dipimpin MMA Retno Rosariastuti. Bersama timnya, Retno akan meneliti aspek ekologi air dan tanah di daerah aliran sungai (DAS) Bengawan Solo. Sebanyak 15 sampel air dan tanah DAS Bengawan Solo dari hulu ke hilir akan diteliti di laboratorium.
Kegiatan ini dimulai 5 Juni di hulu Bengawan Solo di Dusun Muning, Desa Jeblogan, Kecamatan Karang Tengah, Wonogiri. Di tempat itu akan dilaksanakan penanaman pohon reboisasi. Ekspedisi diproyeksikan berakhir di hilir Bengawan Solo di Desa Pangkah Wetan, Kecamatan Ujung Pangkah, Gresik, Selasa, 19 Juni 2007.
Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto berharap ekspedisi ini akan menghasilkan rekomendasi bagi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, termasuk Pemerintah Provinsi Jawa Timur, bagaimana menyelamatkan sungai yang merajut kedua provinsi tersebut.
"Syukur-syukur ada rekomendasi bagaimana meningkatkan kesejahteraan warga di sekitar sungai," ujar Mardiyanto. Semoga…. (LAS/HAN/SON/MAR)
Tuesday, June 05, 2007
Ekspedisi Bengawan Solo "Kompas" 2007: Bengawan Solo untuk Kehidupan
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:11 AM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment