REPUBLIKA - Sabtu, 09 Juni 2007
Lapindo ajukan syarat baru pencairan ganti rugi.
JAKARTA -- Penggunaan hak meminta penjelasan dan bertanya (interpelasi) terhadap kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, dianggap sebagai keniscayaan yang harus ditempuh DPR. Langkah ini sangat penting untuk meminta penjelasan resmi dari pemerintah tentang carut-marutnya penanganan luapan lumpur dan korban yang ditimbulkannya.
''Pemerintah selama ini hanya berwacana tentang penyelesaian Lapindo, tidak ada perubahan yang signifikan yang dilakukan kecuali yang bersifat tambal sulam. Selain itu, adanya interest politik pejabat di pemerintahan yang juga pemilik PT Lapindo Brantas Inc yang disinyalir memperlambat penyelesaian kasus Lapindo,'' ujar Wakil Ketua MPR, AM Fatwa, kepada pers di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jumat (8/6).
Menurut poitisi senior Partai amanat nasional (PAN) itu, jika usulan interpelasi diajukan, maka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebaiknya hadir menjelaskan sendiri tanpa diwakilkan kepada para menterinya. ''Ini belajar pada kasus interpelasi nuklir Iran yang lalu, di mana Presiden tidak hadir yang menimbulkan kemarahan anggota DPR,'' tegasnya.
Sementara anggota Komisi VII DPR, Effendi Simbolon (Fraksi PDIP), memandang pemerintah harus berada di depan berhadapan langsung dengan warga korban lumpur Lapindo untuk mempercepat proses relokasi. ''Kalau tidak, penyelesaian kasus yang telah menyengsarakan ribuan keluarga itu, akan terus berlarut-larut,'' katanya.
Drama politikPengamat hukum tata negara UGM, Denny Indrayana, menyatakan, jika memang DPR sungguh-sungguh menginginkan interpelasi kasus Lapindo, mestinya sudah sejak dulu atau sejak setahun lalu dilakukan. ''Tapi saya lihat aspek positifnya, secara objektif DPR masih mau memperjuangkan kepentingan rakyat. Sayangnya, pengalaman interpelasi tak pernah sukses, itu terkesan hanya drama-drama politik,'' ujarnya.
Pengamat hukum tata negara Unhas, A Irman Putra Sidin, juga menyatakan, presiden wajib menjawab interpelasi DPR. ''Bisa secara lisan, tertulis, atau via tele-conference,'' ujarnya. Menteri Sekretaris Negara, Hatta Radjasa, mengatakan, pemerintah terus mengikuti perkembangan usulan interpelasi itu. Meski menyerahkan sepenuhnya kepada DPR untuk melakukan haknya itu, ia mengingatkan, pemerintah telah memberikan perhatian sangat tinggi terhadap luapan lumpur panas Lapindo yang terjadi sejak setahun lalu itu. Bahkan sejak awal Presiden sudah menginstruksikan tiga poin utama penyelesaiannya.
Pertama, papar Hatta, Presiden meminta secepat mungkin penyelesaian dampak sosial, seperti ganti rugi lahan bagi masyarakat. Kedua, meminta segera relokasi dan pembangunan kembali infrastruktur yang terkena dampak. Ketiga, penanggulangan luapan lumpurnya. ''Ini dimulai dari pembentukan Timnas sampai Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Porsi swasta dan pemerintah pun sudah jelas,'' paparnya.
Proses lambanDi lapangan, kinerja tim verifikasi BPLS dinilai para korban relatif lamban. Meski Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso, telah bersedia membubuhkan tanda tangan pengesahan pada lembaran berita acara verifikasi lahan pethok D dan leter C untuk memenuhi persyaratan ganti rugi, namun hingga kini belum ada satu pun berkas diajukan tim verifikasi BPLS ke PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) sebagai juru bayar.
Sehingga, dalam pembayaran ganti rugi lanjutan, pada Jumat (8/6) siang, tetap terbatas pada lahan yang bersertifikat. Itupun hasil kinerja tim verifikasi Timnas. Pembayaran ganti rugi kali ini meliputi 41 bidang lahan milik 23 warga dari Desa Jatirejo, Kecamatan Siring, dan Desa Kedungbendo, dengan nilai ganti rugi untuk uang muka 10 persen, yakni sebesar Rp 2,19 miliar.
PT MLJ, dengan dalih untuk menghindari sengketa di belakang hari, kini justru meminta persyaratan baru dalam jual beli aset warga yang terdampak semburan lumpur. Persyaratan yang diajukan adalah Peta Kretek dan Buku Kerawangan yang dimiliki para kepala desa atau lurah. Syarat ini sebelumnya tidak dibahas dalam rapat-rapat ganti rugi.
''Dalam Peta Kretek itu tercantum persil nomor sekian milik si A dengan status pethok D. Lalu dicocokkan dengan Buku Kerawangan, yang disaksikan oleh jaksa dan polisi. Aparat penegak hukum itulah yang akan menyaksikan apakah status tanah bermasalah atau tidak,'' ujar Vice President PT MLJ, Andy Darussalam Tabusalla. n eye/one/djo/tok
Saturday, June 09, 2007
'Interpelasi Lumpur Tepat'
Posted by RaharjoSugengUtomo at 4:10 PM
Labels: HeadlineNews: Republika
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment