Saturday, June 09, 2007

POLITIKA: "Sinau" Lagilah

KOMPAS - Sabtu, 09 Juni 2007

Budiarto Shambazy

Banyak politikus di dunia yang tiba-tiba jadi politisi independen. Penyebabnya dua, membelot dari parpolnya sendiri atau menawarkan ideologi alternatif ke pasar.
Nigel Farage, yang sejak remaja aktif di Partai Konservatif Inggris, membentuk United Kingdom Independence Party (UKIP). Ia gusar kepada Perdana Menteri John Major yang menandatangani Traktat Maastricht yang mengikat Inggris dengan Uni Eropa.
Ia berhasil merekrut anggota dari Konservatif. Independensi politik yang ditawarkan Farage bersifat anti-Uni Eropa, misalnya penolakan terhadap mata uang euro dan integrasi sistem hukum Inggris ke Uni Eropa.
Ralph Nader, pengacara yang memperjuangkan hak-hak konsumen, tak percaya lagi kepada Partai Republik dan Demokrat di Amerika Serikat (AS) yang cuma mewakili kepentingan politik dan bisnis kaum elite saja.
Tahun 1996, ia dicalonkan jadi presiden oleh sejumlah partai kecil dan empat tahun berikutnya oleh Partai Hijau. Nader orang independen yang bukan anggota parpol, tetapi UU tak melarang pencalonan dirinya.
Anwar Ibrahim sang "putra mahkota" PM Malaysia Mahathir Mohamad, kini Penasihat Parti Keadilan yang antikoalisi Barisan Nasional. Anwar tokoh liberal yang anti-NEP (New Economic Policy) yang memanjakan pribumi yang didukung Barisan Nasional.
UUD ’45 menyatakan setiap warga berhak memilih dan dipilih. Akan tetapi, seluruh perangkat UU politik mengatakan aspirasi politik itu disalurkan melalui parpol.
Tidak ada koma dalam soal ini. Alhasil, tak seorang pun atas nama UUD ’45 berhak menyebut dirinya sebagai "calon independen" untuk menjadi gubernur DKI Jakarta.
Itulah risiko demokrasi. Demokrasi mensyaratkan pula kewajiban warga—tidak melulu berbicara tentang hak-hak saja.
Sikap kecewa terhadap parpol bukan perbuatan melawan hukum karena banyak warga yang begitu—bahkan apatis. Namun, membasmi tikus-tikus bukan berarti membakari rumah.
Ada yang berkilah, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf toh bisa dipilih sebagai calon independen. Ia mantan tawanan GAM yang kabur dari penjara ketika tsunami melanda provinsi itu, Desember 2004.
Menurut saya, justru UU pemilihan di Aceh itulah—juga di provinsi-provinsi lainnya—yang membolehkan calon independen yang harus digugat lagi. Lagi pula, terpilihnya Irwandi akibat dari kepemimpinan yang menyakiti rakyat Aceh berpuluh-puluh tahun.
Preseden di Aceh tak perlu ditiru di Jakarta, ibu kota yang vital peranannya. Jakarta pintu gerbang masuk yang menjadi tempat berputarnya lebih dari 50 persen uang di republik ini.
Sikap menyamakan Jakarta dengan Aceh jelas gegabah. Pembenaran calon independen dalam pilkada di Jakarta mengandung bahaya.
Misalnya, ada calon independen yang ikut pemilihan gubernur DKI kelak. Seorang konglomerat dengan modal kuat mencalonkan diri dengan tujuan utama mengamankan bisnisnya.
Ia bukan pengurus parpol, meski mempunyai puluhan ribu karyawan dan aset triliunan rupiah. Ia tak kenal ideologi, kecuali profit dan jadi chief executive officer (CEO) yang antikritik.
Ia tak kenal struktur organisasi parpol, AD/ART, atau pola rekrutmen. Ia tak mengerti parpol harus punya lembaga penelitian dan pengembangan serta memahami nasib rakyat miskin.
Ia masa bodoh dengan kunjungan kerja, malas menyapa generasi muda, dan tak mau mengumpulkan pengendara motor yang tak tahu aturan. Ia malas sinau (belajar) saat ujian Pengantar Ilmu Politik tiba ketika masih mahasiswa.
Nah, bagaimana menurut Anda? Saya yang seumur-umur tinggal di Ibu Kota jelas tak rela dipimpin dia.
Jadi, katakan tidak untuk calon independen. Saya yakin penumpang (warga Jakarta) takkan dapat ganti rugi (manfaat) setelah jadi korban metromini (parpol) yang terbalik karena sopir (calon gubernur) tak punya SIM (keahlian).
Belakangan ini sering terjadi "kelirumologi" demokrasi. Misalnya, eksekutif dan legislatif bertikai soal hak interpelasi tentang sanksi Dewan Keamanan PBB terhadap Iran yang didukung Pemerintah RI.
Hubungan tak perlu tegang jika demokrasi dianggap sebagai tatap muka yang bertata krama.
Penyidikan aliran dana DKP ke sejumlah politikus belum dimulai. Padahal, kasus ini perlu segera dibongkar demi masa depan proses demokrasi tahun 2009.
Pernah ramai juga soal syarat minimal capres dari SMA jadi S-1 untuk tahun 2009. Padahal, demokrasi mengatakan, siapa pun berhak mencalonkan diri— Presiden Bolivia Evo Morales drop out saat SMU.
Untuk tahun 2009, mau diterapkan usia minimal capres 35 tahun seperti di AS. Syarat itu diterapkan di AS berdasarkan pertimbangan kultural, intelektual, fisik, dan lain-lain. Apakah kita sudah melakukannya?
Belum lama ini wartawan Michael Vatikiotis menulis, elite di Asia Tenggara ingin demokrasi diterapkan setengah hati agar kepentingan mereka terlindungi. Mereka akan bilang, demokrasi kebablasan.
Ini berbahaya, menurut Vatikiotis, bisa menyebabkan berulangnya krisis moneter tahun 1997. Demokrasi harus bablas selama ia dikawal ketat agar tak anarkis.
Itu tugas para aktivis demokratisasi. Namun, kalau cuma meributkan soal sepele, seperti calon independen, apalagi mengerahkan pelawak ke Kantor Mahkamah Konstitusi, ya sinau tentang demokrasi lagilah.

0 comments: