KOMPAS - Sabtu, 09 Juni 2007
Wonogiri, KOMPAS - Pada hari keempat, Jumat (8/6), Tim Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007 kembali menelusuri Bengawan Solo dengan berjalan kaki karena debit air sangat rendah.
Rute yang dilalui mulai dari Dusun Ngulang, Desa Gedongrejo, Kecamatan Giriwoyo, Wonogiri, hingga jembatan Dusun Pakem di Desa Watuagung, Kecamatan Baturetno, Wonogiri, sekitar 10 kilometer. Salah satu temuan adalah sebuah dam kuno yang diduga dibangun pada zaman Hindia Belanda.
Dam itu berada di Dusun Losari, Desa Selomarto, Kecamatan Giriwoyo. Panjang dam yang sudah kusam berwarna abu-abu itu 38,5 meter dan tebalnya 2-3 meter. Posisi dam berada dalam garis lurus dengan aliran Bengawan Solo lama. Sekarang, aliran sungai sudah bergeser ke arah kiri dam kuno.
Dam itu sekarang penuh sedimen yang dimanfaatkan warga untuk bertanam kacang. Mengutip cerita-cerita lama yang berkembang, Sukino (67), seorang warga, menuturkan, dam itu dibangun pada tahun 1917. "Menurut cerita-cerita itu untuk menahan arus dan walet (lumpur)," tutur Sukino yang sejak kecil telah menyaksikan dam itu tak berfungsi.
Cerita itu juga dibenarkan Paijo (65) dan Sukatman (57).
"Tempat itu wingit (angker) sekarang," katanya setengah berbisik.
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta, Dr Supriyadi, juga menduga dam itu untuk membendung ganasnya banjir Bengawan Solo. Namun, karena kerasnya aliran, sungai itu sekarang berbelok ke arah kiri.
Arkeolog dari Universitas Negeri Malang, M Dwi Cahyono MHum, menilai, kajian atas dam kuno itu menarik karena merupakan bangunan palaeohidrologi. "Yang menjadi pertanyaan, bagaimana sirkulasi air diatur? Kalau untuk dam, rumah di sekitarnya tenggelam," ujar Dwi.
Keganasan banjir Bengawan Solo itu masih tampak bekas-bekasnya di sepanjang sungai yang dilalui Tim Ekspedisi Bengawan Solo. Jembatan Dusun Karanganom, Desa Bulurejo, Kecamatan Giriwoyo, runtuh saat banjir tahun 2003. Jembatan Dusun Tempurkali, Desa Bulurejo, bahkan enam kali hancur diterjang air.
Kepala Dusun Tempurkali Surahman (41) menuturkan, awalnya jembatan itu adalah jembatan tembok. Karena hancur diterjang banjir, akhirnya warga berswadaya membangun jembatan dari bambu. Terakhir, pada 26 Mei lalu, banjir menghancurkan jembatan yang merupakan satu-satunya akses bagi 57 keluarga warga Dusun Tempurkali untuk keluar dusun.
"Kami sudah mengajukan usul kepada bupati untuk membangun jembatan itu, tetapi belum ada tindak lanjut," katanya.
Selain keganasan banjir, Surahman juga tidak menampik bahwa penambangan pasir yang tak terkendali merupakan penyebab kurang kokohnya fondasi.
Kapak mesolitik
Kemarin, Dwi Cahyono juga menemukan kapak mesolitik di Dusun Ngulang, Desa Gedongrejo, Giriwoyo. Bahannya dari batu rijang yang berwarna coklat kehijau-hijauan. Ini merupakan temuan lepas di rumah Mbah Sarijo. Temuan ini merupakan petunjuk bahwa kawasan Gedongrejo merupakan hunian manusia purba dan pengumpul makanan tingkat lanjut.
"Oleh karena itu, perlu riset yang intensif mengenai kemungkinan goa-goa hunian pada tebing-tebing bukit yang mengelilingi kawasan Gedongrejo dan sekitarnya," ujar Dwi.
Temuan lain adalah lumpang batu di Dusun Ngulang. Lumpang batu yang berlubang satu dengan batu alami itu diduga berasal dari masa akhir prasejarah dengan latar budaya megalitik. Dua lainnya, lumpang dengan dinding luar yang sudah dibentuk melingkar dengan lubang besar di tengah, yang dikelilingi 5-8 lubang kecil. Kedua lumpang itu diperkirakan sudah digunakan sejak masa Hindu-Buddha hingga masa kolonial.
Menurut Dwi, temuan ini menunjukkan adanya tradisi pertanian padi-padian yang kontinu pada akhir masa prasejarah hingga sekarang. "Ini masuk akal karena kawasan ini memiliki pasokan air yang cukup dari Bengawan Solo dan mata air sekitarnya," katanya. (LAS/BUR)
Saturday, June 09, 2007
Penelusuran Sungai: Ditemukan, Dam Kuno dan Kapak Mesolitik
Posted by RaharjoSugengUtomo at 4:03 PM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment