Saturday, June 09, 2007

Mata Pencarian: Tuah Pasir Merah

KOMPAS - Sabtu, 09 Juni 2007

FX Laksana Agung Saputra

Bersama alurnya, Bengawan Solo membawa serta pasir merah. Melalui cara alam, butir demi butir terhimpun. Dan, kepada warga, pasir merah memberi tuah.
Pagi di Desa Bulurejo, Kecamatan Giriwoyo, Wonogiri, Jawa Tengah. Sekelompok pria sedang mengeruk pasir di Bengawan Solo. Mereka adalah warga setempat yang bekerja sebagai penambang pasir. Semuanya berjumlah 18 orang.
Punen (43), salah seorang di antaranya, berdiri di sungai. Ketinggian air Bengawan Solo sekitar 50 sentimeter. Punen dan kawan-kawannya berdiri mengelilingi tiga truk yang telah menunggu untuk diisi pasir.
Menggunakan serok (kreyeng), Punen mengeruk pasir. Membungkuk sesaat, tangan bapak dua anak itu mengayun ke dasar sungai. Sedetik kemudian, air di depan perutnya beriak dan tangannya menyembul ke permukaan dengan serok yang telah terisi pasir. Tangannya langsung mengayun lagi ke samping, dan melayanglah butiran pasir dari serok ke dalam bak truk.
Entah berapa ratus kali Punen telah mengeruk pasir pagi itu. Yang pasti, keringatnya telah bercucuran dan bak truk telah terisi separuhnya. Tak terasa, bak truk pun sudah penuh terisi pasir.
Pasir merah. Demikian para penambang dan penduduk lokal memberikan nama. Mungkin karena warnanya coklat muda agak kemerahan. Pasir ini digunakan untuk bahan bangunan. Akan tetapi, kualitasnya 50 persen di bawah pasir hitam yang lebih lazim untuk bangunan.
Di Bengawan Solo hanya terdapat pasir merah. Pasir ini merupakan hasil sedimentasi dari erosi tanah perbukitan bercampur lahan pertanian.
Untuk pasir satu truk atau 4,5 meter kubik, para penambang menerima Rp 200.000 dari sopir truk yang bekerja untuk juragan pemilik truk. Setelah dipotong Rp 1.000 untuk kas dusun dan Rp 3.000 untuk biaya portal warga yang dilewati truk, uang itu selanjutnya dibagi rata untuk enam orang.
Menurut Widodo (32), penambang di lokasi lain, pendapatan penambang tidaklah menentu, bergantung pada truk yang datang membeli pasir. Jika sedang beruntung, truk yang datang bisa sampai 10 dalam satu hari. Bila sedang sepi, bisa nihil sama sekali. "Kalau dirata-rata, antara Rp 10.000 hingga Rp 40.000 per hari," katanya.
Meski begitu, Marto Ginem (60) mengaku pendapatannya sebagai penambang sangat membantu memenuhi kebutuhan bulanan keluarganya, termasuk biaya sekolah dua dari lima anaknya. Anaknya yang nomor empat duduk di bangku SMP kelas I. Adapun si bungsu kelas II SMA.
Setiap bulan Marto harus mengeluarkan biaya Rp 92.000 untuk SPP kedua anaknya. "Kalau hanya mengandalkan dari menjual kacang dan ketela pasti kurang. Jadi, saya harus cari tambahan," tutur Marto menjelaskan alasannya bekerja sebagai penambang pasir.
Lingkungan vs perut
Dari hulu hingga Dusun Pakem, Desa Watuagung, Kecamatan Baturetno, setidaknya ada 13 lokasi penambangan pasir.
Para penambang di Bengawan Solo itu sejatinya adalah petani. Selain padi tadah hujan, mereka juga menanam singkong, kacang, dan berbagai palawija lainnya.
Di musim kemarau, biasanya mereka tidak banyak kesibukan di ladang. Mereka lalu menambang pasir di Bengawan Solo yang airnya sedang surut.
Meski dianggap sebagai sampingan, sesungguhnya menambang memberikan hasil yang lumayan untuk menopang kehidupan sehari-hari.
Menurut Saryono (46), penambang yang sempat bekerja di Jakarta, pendapatan dari panen yang hanya dua kali dalam setahun sama sekali tidak cukup.
Hasil panen padi, misalnya, hanya cukup untuk dikonsumsi sendiri. Itu pun tidak cukup. Mereka tetap harus membeli beras minimal untuk dua bulan dalam setahun.
Akan tetapi, penambangan pasir ternyata memberikan sumbangan besar pada erosi. Desa Gedongrejo di Kecamatan Giriwoyo bahkan melarang penambangan di desanya.
Para penambang pun sebenarnya tahu dampak negatif pekerjaannya. Akan tetapi, mereka juga butuh hidup dan menambang pasir adalah yang paling mungkin. Maka, yang diperlukan adalah kearifan semua pihak untuk memahami persoalan kemiskinan yang mereka hadapi....

0 comments: