Tuesday, June 12, 2007

Antiklimaks Calon Independen

KOMPAS - Selasa, 12 Juni 2007

Sebuah antiklimaks menandai dan mengawali pertarungan memperebutkan kursi gubernur DKI Jakarta setelah pasangan Adang Daradjatun-Dani Anwar yang semula diduga akan menunda pendaftaran, ternyata mendaftar terlebih dahulu dibandingkan pasangan Fauzi Bowo-Prijanto.
Penundaan diharapkan sementara kalangan dapat dijadikan alasan KPU DKI Jakarta mengundurkan jadwal pendaftaran sehingga dapat memberikan kesempatan kepada mereka yang akan memperjuangkan kandidat independen. Namun, dengan telah mendaftarnya kedua pasangan, maka persyaratan undang-undang terpenuhi.
Itu berarti telah menutup pintu bagi upaya memunculkan calon independen dalam Pilkada DKI 2007. Ketegangan dalam upaya memunculkan calon alternatif lenyap ditelan bumi. Meskipun demikian, tampaknya masih terdapat beberapa kalangan yang gigih berjuang agar dapat memunculkan calon independen dengan menunggu putusan Mahkamah Konstitusi atau dari proses penyusunan RUU DKI Jakarta yang sedang dibahas DPR.
Kekecewaan masyarakat yang menuntut hadirnya calon independen dalam pilkada di DKI dapat dimengerti. Hal itu berkaitan dengan pengalaman sejak tahun 2005 (tahun dimulainya pilkada secara langsung) hingga kini, pencalonan kepala daerah didominasi partai politik. Peraturan yang memberikan kewenangan parpol melakukan perekrutan politik telah disalahgunakan sebagian elite parpol untuk mematikan proses perekrutan politik yang demokratis. Tidak mengherankan jika partai telah dianggap sebagian masyarakat sebagai lembaga perantara politik yang "memeras" kandidat yang ingin menjadi kepala daerah.
Persepsi tersebut tidak mudah dibuktikan, tetapi gejala ini bukan lagi sekadar rumor (kabar angin) melainkan telah menjadi isu politik yang mencemaskan dan menggerogoti masa depan demokrasi. Bahkan, dominasi tersebut terjadi di DKI Jakarta yang masyarakatnya relatif mempunyai tingkat kesadaran politik tinggi, serta menjadi pusat gerakan pembaruan politik yang seharusnya mempunyai potensi menggalang kekuatan masyarakat mengimbangi kekuatan deterministik partai politik.
Selain itu oligarki partai politik hanya akan menghasilkan kader partai yang mengakar ke atas atau loyal kepada penyandang dana. Oleh sebab itu, dikhawatirkan mereka tidak mempunyai empati serta kepedulian pada kesulitan hidup warganya. Perilaku partai politik semacam itulah yang mengakibatkan kredibilitas lembaga tersebut merosot.
Sebuah ironi terjadi dalam proses transisi di Indonesia dewasa ini: masyarakat yang telah bergerak ke arah demokratisasi terperangkap oleh kemandekan demokratisasi di internal partai politik.
Kegandrungan masyarakat akan calon independen setidaknya diharapkan dapat mencapai beberapa tujuan.
Pertama, mendobrak partitokrasi (demokrasi yang dikangkangi partai politik) agar aspirasi dari bawah mendapatkan tempat dalam proses politik. Kedua, memungkinkan calon dari masyarakat yang dianggap publik lebih berkualitas daripada sekadar figur yang diusung segelintir elite partai politik. Ketiga, mendorong demokratisasi internal partai politik.
Dalam konteks Pilkada DKI, kegagalan kandidat independen harus dijadikan pelajaran. Pelajaran penting adalah sebagai berikut: membangun kekuatan masyarakat melawan dominasi partai politik tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Perjuangan harus dilakukan setidaknya dengan menggabungkan kekuatan masyarakat, pendapat umum, dan jalur hukum.
Kemunculan calon independen dalam pilkada di Provinsi Aceh dimungkinkan karena Nota Kesepahaman Helsinki menyiratkan kemungkinan calon independen dalam pemilihan gubernur tersebut. Ketentuan itu berhasil diinkoorporasikan dalam UU Pemerintahan Aceh setelah melalui perdebatan sengit di DPR.
Sejalan dengan pemikiran di atas, maka meningkatnya intensitas tuntutan mengusung kandidat independen di DKI setelah mereka gagal memperoleh dukungan parpol, hanya akan menimbulkan dugaan bahwa desakan tersebut bagian dari permainan politik. Bukan merupakan aspirasi orisinal yang muncul dari kegelisahan akibat dominasi oligarki partai. Lebih-lebih tingkat kegigihan sebagian politisi dalam meminta dukungan kepada partai politik sudah sedemikian tingginya sehingga menimbulkan kesan meraih jabatan gubernur adalah segala-galanya.
Dugaan tersebut akan menjadi kekhawatiran masyarakat, jangan-jangan kandidat independen yang semula minta dukungan partai dan gagal, andaikata berhasil lolos menjadi gubernur dan wakil gubernur, mereka juga bersikap sama pragmatisnya sebagaimana saat pencalonan.
Selain itu, calon-calon tersebut dikhawatirkan akan melayani deal-deal dengan partai politik mengenai hal yang mungkin tidak relevan dengan kepentingan rakyat. Lebih-lebih gubernur dan wakil gubernur tersebut harus menghadapi parlemen yang didominasi partai politik.
Itu semua tentu dugaan yang sifatnya hipotetis. Sebab, mungkin pula kegigihan calon yang gagal mendapatkan dukungan parpol tersebut di atas mencoba melawan oligarki partai.
Mengingat kandidat independen adalah bagian dari proses demokratisasi agar parpol tidak terlalu dominan, maka perjuangan masyarakat mengusulkan calon di luar partai politik harus menjadi perjuangan bersama.
Tentu saja masyarakat harus dapat mengusulkan calon yang benar-benar memenuhi harapan masyarakat.
Untuk Pilkada Agustus mendatang, masyarakat diharapkan tidak hanya merenungi kekecewaan karena tidak mendapatkan calon independen yang mungkin dianggap lebih berkualitas dan kemudian menjadi golongan putih (golput).
Sebagai warga negara yang bertanggung jawab, sebaiknya warga Jakarta menentukan pilihannya agar mempunyai hak moral untuk melakukan kontrol. Bahkan, kalau perlu menggalang kekuatan politik agar siapa pun gubernur yang terpilih harus tunduk kepada kepentingan warganya.
Menjadi golput dalam jangka panjang hanya akan merugikan proses demokratisasi yang sebenarnya mulai dapat diselenggarakan di bumi Indonesia ini.
J Kristiadi Peneliti CSIS

0 comments: