Tuesday, June 12, 2007

Perjalanan: Limbah Emas yang Cemari Lingkungan

KOMPAS - Selasa, 12 Juni 2007

PASCAL S BIN SAJU

Limbah penambangan emas rakyat yang dilakukan warga Dusun Nglenggong di lereng Gunung Randu Kuning, Selogiri, Wonogiri, Jawa Tengah, diduga mencemari air Bengawan Solo.
Ditingkahi riuhnya bunyi dari putaran enam mesin molen atau mesin pemroses, pengolahan, dan pemilah emas hasil penambangan yang ditempatkan di depan rumahnya, Suyatno menyambut dengan ramah Tim Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007. "Saya memulai usaha ini sejak tahun 1993," kata dia mulai bercerita.
Tampak limbah cair dari mesin pemrosesan mengalir di tanah, lalu menggelontor ke sebuah kali kecil tidak jauh dari rumah Suyatno, tanpa ada instalasi pengolahan atau daur ulang limbah. Rumah dan mesin molen dibangun dengan terlebih dahulu memahat tebing Gunung Randu Kuning.
Dia menuturkan, dari 47 keluarga warga Dusun Nglenggong, 20 di antaranya melakukan usaha penambangan dan pengolahan emas. Mereka melakukannya dengan pola tradisional sejak 14 tahun lalu.
Setiap keluarga membentuk satu kelompok terdiri dari lima, enam, atau lebih pekerja yang sekaligus menjadi anggotanya.
Ia lalu memperlihatkan cara mengolah emas. Material hasil penambangan dimasukkan ke dalam enam molen setelah dicampuri air raksa (Hg) dan semen dengan takaran tertentu. Semen untuk mengikat tembaga (Cu) dan material lain, sedangkan Hg untuk mengikat emas, atau memisahkan emas dari tembaga dan material lainnya.
Setelah empat jam, kata Suyatno, molen dibuka dan akan terlihat bulatan emas mentah yang masih bersenyawa dengan Hg. Perunggu, tembaga, dan material lain sudah terpisah. Suyatno menunjukkan dua bulatan kecil emas mentah yang sudah dihasilkan sebelumnya, yang belum dibakar, atau masih bersenyawa dengan Hg.
Sama seperti pada kelompok yang lain, untuk mendapatkan emas, dia selalu mencampuri material penambangan dengan Hg. Satu kilogram Hg bisa untuk tiga minggu.
Menurut Suyatno, dua bulatan emas mentah itu setara dengan satu gram emas 24 karat (kadar 95 persen). Dua bulatan kecil emas mentah itu diletakkan di bawah sendok dalam tembikar yang menyerupai setengah bulatan tempurung, lalu dibakar dalam suhu lebih dari 1.500 derajat Celsius hingga kemudian terlihat satu gram emas.
"Setiap hari kami hanya bisa menghasilkan satu gram. Produksi merosot tajam dibandingkan dengan tahun-tahun awal ketika kami memulai usaha ini tahun 1993-1994," katanya.
Pada dua tahun pertama itu, kelompok Suyatno bisa menghasilkan 500 gram emas per hari. Dari hasil usahanya, dia bisa membangun rumah tembok dan mengisinya dengan berbagai perabot, menyekolahkan anak, dan membeli sepeda motor.
Meski sekarang hanya menghasilkan satu gram emas atau setara dengan Rp 163.000, Suyatno dan anak buahnya terus berjuang.
Tim Ekspedisi sempat mengunjungi tiga lokasi penambangan. Selain milik (kelompok) Suyatno, juga milik Sutarno dan Sunardi. Lokasi penambangan mereka berdekatan satu sama lain di lereng Gunung Tumbu. Letaknya hanya bisa dijangkau lewat jalan setapak satu kilometer dari rumah Suyatno, atau tempat pengolahan.
Lokasi penambangan itu berupa lubang mirip sumur yang dalam. Menurut Suyanto, salah satu penambang, titik pengambilan material di kedalaman yang membentuk siku-siku atau huruf L. Untuk ke sana, para pekerja harus menuruni lubang 23 meter, lalu menapaki terowongan sepanjang 15 meter. Di titik itulah mereka mengambil materialnya.
"Setiap sore, antara pukul 15.00-16.00 kami pulang membawa masing-masing satu karung berisi material hasil penambangan," ujar Sigit Wahyudi, penambang lain.
Tidak ada alat keselamatan dan keamanan kerja meski pekerjaan mereka amat berisiko. Mereka bekerja tanpa masker, jaket, sarung tangan, atau peralatan keselamatan lainnya, kecuali pipa oksigen yang dialirkan ke lubang ditambah penerangan listrik secukupnya.
Limbah dibuang langsung
Meskipun limbah tailing dibuang begitu saja, terutama limbah cair yang dibiarkan menggelontor ke kali, sampai saat ini belum ada larangan untuk usaha penambangan emas itu. Memang, kata para penambang, petugas dari Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan, dan Pertambangan Wonogiri beberapa kali datang, tetapi hanya sekadar mengingatkan mereka agar berhati-hati.
Suyatno dan kawan-kawan sebenarnya juga tahu kalau cara penambangan mereka penuh risiko dan membahayakan lingkungan. Akan tetapi, mereka tetap berharap usahanya tidak dilarang atau ditutup. "Ini kan usaha sampingan, selain bertani. Hasil pertanian saja tidak mencukupi karena lahan yang kami garap sangat terbatas," kata Suyatno.
Ahli kimia lingkungan Universitas Sebelas Maret Surakarta Pranoto MSc, yang ikut dalam Tim Ekspedisi, mengatakan, limbah tailing, yang mengandung Hg dan Cu sudah lama mencemari dua anak sungai Bengawan Solo. Hanya saja seberapa parah tingkat pencemarannya belum diketahui dan belum diteliti dengan serius.
Meski demikian, kalaupun akhirnya ditemukan adanya pencemaran, usaha penambangan emas rakyat itu tidak mesti ditutup atau dilarang. Upaya yang harus dilakukan pemerintah adalah memfasilitasi warga untuk meningkatkan usahanya demi perbaikan ekonomi masyarakat, serta membenahi aspek lingkungannya. (FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA)

0 comments: