Thursday, June 21, 2007

Ekspedisi Bengawan Solo: Manajemen Sungai Sangat Penting

KOMPAS - Kamis, 21 Juni 2007

Gresik, Kompas - Sungai sesungguhnya berpotensi besar asalkan dikelola dengan teknologi yang baik. Oleh karena itu, Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007 diharapkan menimbulkan kecintaan pada sungai. Harapan itu dapat terwujud dengan manajemen sungai yang baik.
Pemimpin Redaksi Harian Kompas Suryopratomo dalam penutupan Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007 mengatakan, dengan manajemen yang baik sungai dapat dioptimalkan untuk menghasilkan listrik, mengendalikan banjir, dan menjadi sarana transportasi. Dengan demikian, sungai benar-benar menjadi pusat peradaban, baik dari sisi ekologi, ekonomi, politik, maupun budaya.
Hari Rabu (20/6) kemarin, Tim Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007 mengakhiri penyusuran sungai terpanjang di Pulau Jawa itu. Penutupan ekspedisi dihadiri Komandan Pangkalan Marinir Surabaya Kolonel (Mar) Yuniar Ludfi dan General Manager Humas Kompas Gramedia Nugroho F Yudho.
Dalam acara yang sama, Direktur Proyek Jababeka Botanical Garden Eka Budianta mengharapkan Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007 menjadi titik tolak kecintaan masyarakat terhadap sungai. Dengan kecintaan itu, masyarakat dapat mengelola sungai di negerinya.
Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007 berlangsung mulai 5 Juni hingga 20 Juni. Dalam kegiatan itu, Tim Ekspedisi mengarungi Bengawan Solo dari hulunya di Desa Jeblogan, Kecamatan Karang Tengah, Wonogiri, Jawa Tengah. Pada hari terakhir, Tim Ekspedisi mencapai muara Bengawan Solo di Ujung Pangkah, Gresik, Jawa Timur, yang berjarak 548,53 kilometer dari hulu.
Pengarungan sungai dilakukan dengan menggunakan dua perahu karet yang dikendalikan empat anggota Pangkalan Marinir Surabaya. Dalam penelusuran itu, Tim Kompas disertai tiga anggota mahasiswa pencinta alam Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, serta peneliti dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo dan Universitas Negeri Malang.
Pengajar Fakultas Pertanian UNS, Robby Sudaryanto, yang mendampingi Tim Ekspedisi, mengatakan, Bengawan Solo bisa dibagi tiga, yaitu bagian hulu, bagian tengah, dan bagian hilir.
Persoalan Bengawan Solo di bagian hulu adalah kerusakan daerah tangkapan air. Di bagian hulu, sedimentasi juga sudah terlihat dengan jelas, bahkan sebelum areal Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri. Sedimentasi itu terjadi di sepanjang pinggiran sungai yang justru menimbulkan lahan baru sehingga dijadikan areal pertanian baru oleh masyarakat.
Di bagian tengah, kerusakan sungai disebabkan erosi, sedimentasi, dan pencemaran limbah pabrik. Endapan terjadi di sungai karena tebing sungai diolah sehingga saat musim kemarau mudah tererosi.
Menurut Robby, erosi disebabkan kerusakan di daerah tangkapan air di hulu sungai. Peran pengolahan tebing sungai menjadi ladang pasang surut juga tidak kalah dalam mempercepat erosi dan kerusakan Bengawan Solo. "Seharusnya tebing sungai ditanami rumput, seperti rumput gajah dan alang-alang. Sebagai penahan di bagian dalam setelah rumput, pohon bambu juga efektif menahan erosi. Rumput ini dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Ironisnya, rumput malah dihilangkan dan diganti dengan lahan pertanian," kata Robby.
Sementara di muara, masalah yang terjadi adalah pendangkalan dan kerusakan vegetasi mangrove yang seharusnya menjadi tempat pemijahan ikan dan biota laut serta pencegah abrasi," tutur Robby.
Dari sisi sejarah, arkeolog pada Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang Dwi Cahyono memaparkan, Bengawan Solo terbukti tidak hanya menjadi sumber ekonomi masyarakat yang tinggal di tepiannya, tetapi juga terkait politik, religi, transportasi, dan komunikasi.
"Bengawan Solo seperti benang panjang yang merajut dinamika sejarah di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta melintasi beberapa masa," kata Dwi kemarin.
Bukti bahwa tepi Bengawan Solo digunakan masyarakat prasejarah, antara lain, ditemukan di sekitar Trinil, Ngawi, Jawa Timur, dan Kecamatan Sambungmacan, Sragen, Jawa Tengah.
Penggunaan sungai, yang terbentang dari Jawa Tengah sampai Jawa Timur, itu sebagai sarana transportasi, sebagaimana disebutkan dalam dokumen-dokumen sejarah, juga terbukti dengan ditemukan beberapa penyeberangan dan pelabuhan lama (lawas). Jadi, kata Dwi, sungai yang dalam dokumen sejarah disebut sebagai Ciwaluyu atau Bengawan Semanggi ini adalah nadi pira pradesa atau urat nadi kehidupan masyarakat.
Harapan agar Bengawan Solo tetap sebagai sumber kehidupan bisa terwujud bila semua pihak bertanggung jawab mengelolanya. (INA/GSA/CAL/ACI/SSD/BUR)

0 comments: